"Bibi Liana, aku ingin air perasan lemon saja untuk hari ini. Aku tidak suka teh hijau yang diharuskan Kak Aludra untukku." Liana yang baru saja menaruh cangkir teh hijau di atas meja makan, langsung memundurkan langkah saat Alhena menjatuhkan cangkir tersebut dari hadapannya. "Secepatnya."
Liana menghela napas saat melihat serpihan dari cangkir yang sudah terpecah tersebut. Lalu mengisyaratkan salah satu pelayan untuk membereskannya. "Tapi Nona, Nyonya Aludra sudah memerintahkan kepada saya untuk Nona menghabiskan teh hijau tersebut."
"Aku bosan. Bisakah kamu menuruti perintahku sekali saja? Aku majikanmu di sini!" Nada suara Alhena meninggi, yang membuat Geografi terkekeh sembari menghembuskan asap rokoknya.
"Tuan Muda, sebaiknya anda mematikan ganja anda sebelum kedatangan Tuan Riziq dan Nyonya Aludra." Malik yang baru saja datang, langsung merebut batang rokok tersebut dari sela jari Geografi.
Decakan Geografi langsung keluar diiringi dengan teriakan yang berusaha tidak dikeluarkan Alhena. Kedua remaja dengan seragam sekolah menengah atasnya itu harus menelan pil pahit karena keinginannya sekali lagi direbut oleh dua asisten pribadi dari kedua Kakaknya.
"Kenapa Kak Riziq dan Kak Aludra lama sekali?" gerutu Geografi, sembari memainkan pisau buah ke hadapan gadis bersurai panjang dengan bandana merah maroonnya di depannya.
"Ngapain sih?" Gadis itu mencerca, lalu terkekeh geli saat tingkah lelaki itu semakin menjadi. Geografi sedang memainkan sulap yang selalu gagal dengan berusaha menyembunyikan apel yang tidak bisa disembunyikan tersebut. Keduanya memang terbiasa menunggu di meja makan saat makanan sudah disajikan namun pemilik Kastil belum tiba untuk mempersilakan para tamu untuk menikmati jamuannya. Dan mereka sudah harus diwajibkan untuk selesai dari menikmati jamuan saat salah satu Raja ataupun Ratu meninggalkan meja makan. Dan keduanya sudah terbiasa akan hal tersebut.
Saat berusia 13 tahun, Geografi dan Alhena pernah menunggu sang Raja dan Ratu sampai pukul 12 malam hanya untuk menikmati makan malam yang sudah mendingin. Keduanya juga pernah belum makan apapun saat Aludra meninggalkan meja makan hanya karena bersitegang dengan Riziq. Hal yang sudah biasa dilihat oleh kedua remaja tersebut.
Dan keduanya sudah terbiasa.
Terbiasa untuk menerima kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi saat dokter Franca kembali menghela napas setelah memeriksa Aludra.
"Apakah sudah tidak ada harapan?" Egriziq yang berada di salah satu sofa di ruangan tersebut membuka suara sebagai pertanyaan yang terdengar seperti pernyataan.
"Mengingat beberapa kejadian buruk yang menimpa Aludra beberapa tahun terakhir, sepertinya ini adalah kali terakhir saya mengizinkan Aludra untuk mencoba sekali lagi. Usianya lima minggu, Riziq." Franca tersenyum, walaupun ini bukan kali pertama ia mengumumkan hal seperti ini untuk keduanya.
"Apakah kalau kali ini gagal, saya bisa mencoba lagi?" Aludra bertanya, menatap mata Franca yang berusaha menghindarinya.
"Kamu sudah keguguran sebanyak 19 kali dalam 17 tahun tahun terakhir, Sica. Keguguran sampai 20 kali akan semakin menyakiti kamu!" Pria itu membentak, sambil membuka dua kancing atas kemejanya. "Katakan padanya untuk tidak mencoba lagi, Franca!"
"Setidaknya aku pernah melahirkan sebanyak tiga kali, walaupun mereka dibunuh!"
"Kamu yang membunuhnya." Setelah mengatakan hal tersebut, Egriziq langsung melangkah untuk meninggalkan ruangan tersebut.
"Kakakku yang membunuhnya, Franca." Ia tidak bisa melahirkan pewaris Windsor karena kesalahan dari Kakaknya. Kakaknya yang selalu melenyapkan setiap anak yang ada di kandungan Aludra. Kakaknya selalu merebut sesuatu yang dimiliki oleh Aludra, wanita itu sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Karena Alezna.
.
.
."Lo masih ingat teriakan Kak Aludra waktu kita masih umur 10 tahun?" Gadis itu mengeluarkan pertanyaannya saat lelaki di sebelahnya masih fokus mengikat tali sepatu yang tidak bisa terikat dengan benar. Dengan emosi yang tertahan, gadis itu ikut menunduk untuk mengikatkan tali sepatu dari lelaki itu. "Goblok banget sih!" bentaknya.
"Sorry anjir, tau sendiri kan gue gak bisa ngikat tali sepatu," balas Geografi, tak kalah sewot. "Lo bahas apa tadi?"
"Gak ada." Alhena lebih memilih untuk memasuki mobil terlebih dahulu daripada membuang-buang tenaga dengan beradu mulu bersama Geografi. Tetapi memori itu masih tidak bisa dilupakan oleh Alhena karena ia melihat bagaimana teriakan Kakaknya pada malam itu.
Setiap malam di musim gugur memang lebih berangin dari malam-malam di musim lainnya. Tetapi angin malam yang dirasakan oleh anak perempuan yang masih mengerjakan tugas biologinya itu jauh lebih dingin, karena ia beberapa kali menggigil sembari melirik anak laki-laki di sampingnya. "Geo..." Ia memanggil, dengan suara bergetar.
"Kenapa?"
Ia kembali menggeleng.
"Kalau Tuan Muda dan Nona sudah mengerjakan pekerjaan rumah ini, kalian langsung tidur yah." Liana tersenyum, sambil menaruh gelas susu dan juga kudapan yang baru saja di bawah oleh salah satu pelayan. Dan belum sempat ia bangkit dari duduknya suara teriakan dari lantai bawah langsung membuat perempuan itu kehilangan fokusnya.
"LIANA! TIDAK! AKU MOHON, LIANA!" Suara yang diiringi rasa takut, marah, kesedihaan, dan keputus-asaan itu memaksa Liana untuk berlari tanpa alas kaki menuju ruangan utama tempat Majikannya beristirahat. Ruangan utama terbagi oleh dua ruang tidur, jadi sebelum menuju ruang tidur Aludra. Liana terlebih dahulu harus melewati ruangan tidur Egriziq yang di dalamnya ada Husein dan Malik yang masih saling memandang. Mereka tidak diperkenankan untuk masuk ke ruangan tidur tersebut, walaupun keadaannya darurat. Sebelum Aludra mengijinkan.
"Kenapa diam saja, panggilkan dokter Franca!" Liana berteriak pada Malik, yang masih memandangi telapak kaki perempuan itu. Liana berlari tanpa alas kaki sampai tidak menyadari sudah menginjak pecahan kaca dari cangkir yang dijatuhkan Riziq tadi. Tanpa mengatur napasnya, Liana langsung menutupi darah yang mengalir di bagian bawah tubuh Aludra.
Penampilan Nyonya-nya terlihat kacau dengan balutan gaun tidur sambil terus menggenggam darah yang berjatuhan dari rahimnya. "Aku tidak bisa men—" Aludra kehilangan kemampuannya dalam berbicara karena sesak di dadanya. Ia terus merintih karena rasa sakit di perutnya. Padahal janinnya sudah berusia sembilanbelas minggu kemarin, ia belum merasakannya tumbuh lebih lama di dalam tubuhnya.
"Apakah kamu akan tetap di situ?" Franca bertanya kepada Riziq saat ia baru saja memasuki ruangan tersebut. Dan laki-laki itu tidak menjawab, ia hanya mematung dengan mata yang memerah. Ini bukan kali pertama, tetapi rasa sakitnya masih saja terasa. "Aludra, tenanglah..." Franca langsung menyuntikkan anestesi kepada Aludra saat Liana sudah berhasil membaringkan perempuan tersebut.
"Bagaimana keadannya?"
"Bahkan tanpa diperikasipun semua orang sudah tahu jawabannya, Liana. Janinnya sudah tidak ada," ujar Franca, sambil membersihkan pendarahan dari Aludra. Franca mendongak, melemparkan senyuman kepada Liana yang berusaha mengatur napasnya. "Dia akan baik-baik saja. Mereka akan pulih dan mencoba lagi. Tidak usah khawatir."
"Sampai kapan Nyonya Aludra harus mencoba?"
.
.
.Halo semuanya, aku selalu mengucapkan terima kasih atas dukungan kalian terhadap karya aku yang sebenarnya kurang menarik ini.
Terima kasih, sudah mau menjadi saksi atas kelahiran dari karya aku saat beberapa makhluk bumi menutup mata akan kehadirannya.
Terima kasih sekali lagi.
Salam cinta, purple.
KAMU SEDANG MEMBACA
EVERMORE
Ficción GeneralPersaudaraan adalah sebuah ikatan yang abadi di dunia ini. Entah bagaimana caramu memutus ikatan itu, tidak akan bisa lepas dengan cara apapun. Belasan tahun lalu, sebuah pandangan berbeda membuat jarak antara Alezna dan Aludra semakin jauh. Keegoi...