"Namanya Charlotte Alhena Victoria, yang akan membantu kamu mengurus kelas XI SOSIAL 1. Dia Ketua kelasnya, mungkin 10 menit lagi dia akan sampai ke sini." Wanita yang menjabat sebagai Kepala Sekolah SMA Maritim itu memberikan profil singkat kepada wali kelas sekaligus guru baru yang akan mengambil tanggungjawab penting di Kelas Sosial tersebut.
Wanita berparas manis itu mengangguk-ngangguk, sembari menaruh kembali cangkir teh tersebut di atas meja. "Hmm... maaf, Bu. Apa saya boleh mengetahui wali dari Charlotte?" tanyanya, hati-hati.
"Alhena, Gaida," ralat Bu Lusia, kepada mantan muridnya dahulu. "Egriziq Windsor." Sembari mengecilkan nada bicaranya.
Gaida mengerutkan keningnya. "Egriziq? Riziq?" Kenapa bisa... Wanita bersurai pendek itu meremas telapak tangannya secara bergantian.
"Tidak perlu khawatir." Bu Lusia yang seakan peka, memberikan senyuman yang meyakinkan. "Riziq jarang ke sini lagi setelah lulus, mereka hanya memberikan tanggungjawab tersebut pada orang kepercaan mereka," lanjutnya.
"Tapi..." Napas Gaida terasa tidak beraturan setiap mengingat peristiwa tersebut. "Apalagi Jessica masih membencinya..." Suara lirih Gaida yang berusaha tidak didengar oleh Bu Lusia.
.
.
."Saya Bu Gaida."
Gadis bersurai panjang itu hanya tersenyum tipis. "Terima kasih, Bu, sudah bersedia menjadi wali ketas saya dan teman-teman." Alhena mengira, sudah tidak ada guru manapun yang bersedia menjadi wali kelas mereka. Karena dalam satu semester ini, sudah tiga guru yang mundur sebagai wali ketas.
Bu Gaida mengangguk-ngangguk, menyeimbangi langkah Alhena yang terlalu mirip dengan seseorang yang ia kenal dahulu. "Kamu berapa bersaudara?" Pertanyaan yang tanpa sadar dilontarkan wanita tersebut.
"Dua," jawabnya.
"Dua saja?"
Alhena terkekeh, "Bunda keburu meninggal waktu saya umur setengah tahun, Bu. Jadi, belum sempat dikasih adik."
Gaida berusaha menyungging senyumnya, dan kembali mengatur napasnya supaya tetesan air krystal itu tidak jatuh begitu saja.
"Ibu? Tidak mau masuk kelas?"
"Ahh... Baik."
"Pengalaman bekerja kamu sebelum memilih sekolah bergensi seperti ini?" Pertanyaan kedua yang diberikan salah satu petinggi Maritim group saat wanita bermata bulat itu melakukan tahap wawancara pekerjaan ini.
Dengan senyuman tertahan, wanita itu berkata, "Saya pernah menjadi guru privat untuk putri Victoria croup selama beberapa tahun." Pengalaman dengan gaji besar tersebut, tidak akan ia lupakan.
"Teman-teman, kenalin ini Bu Gaida yang akan menjadi wali kelas kita." Aludra memperkenalkan wali kelas mereka, sembari tersenyum tipis.
"Ibu mohon kerja sama dari kalian semua, karena kita adalah keluarga."
Salah satu siswa langsung mengangkat tangannya. "Tapi Bu, banyak siswa di sini yang tidak memiliki keluarga dan tidak mengetahui makna dari keluarga itu sendiri. Dan Ibu langsung menyebut kita adalah keluarga, bukannya itu terlalu tidak sopan, Bu."
Tawa seluruh siswa di sana langsung menggelegar seakan si pembuat onar sudah memberikan prestasi besar untuk kelas mereka.
Bu Gaida menggulum senyum. "Ibu tahu. Ibu juga tidak punya keluarga, tetapi seseorang pernah bilang sama Ibu. Hubungan persaudaraan memang tidak menjamin keabadian, tapi kalau kita mengikatnya dengan rasa kasih sayang. Pasti hubungan tersebut akan abadi. Ibu hanya ingin, kita semua saling mengerti dan memahami. Dan saling membutuhkan dan membantu, satu sama lain." Mendengar kelas yang hening, Bu Gaida kembali bertanya, "Bagaimana? Kalian bersedia, kan?"
.
.
."
Tumben," sindir Geografi, saat keheningan menyelimuti mobil tersebut. Setelah menekan pematiknya, ia langsung memandangi Alhena yang masih memandangi pemandangan yang ada di luar kaca mobil. "Lo ada masalah?
Alhena menghela napas, dan memberikan gelengan samar kepada saudara ipar Kakaknya.
"Mau chatime?"
"Gak."
"Mau xiboba?"
"Gak usah."
"Mau Mcd?"
"Asin."
"Apa?"
"Gue mau yang asin."
Geografi langsung mendorong pelan kepala gadis itu, yang membuat kepala Alhena terbentur pada kaca mobil. "Bangsat!" pekiknya, menggosok pelan keningnya yang tiba-tiba berdenyut. "Sakit tauuu...."
"Banyak mau," cibir Geografi.
"Kan lo yang nanyak!" balas Alhena, tidak kalah sewot.
"Pak, penjual asinan di sini, di mana?" Lelaki itu bertanya kepada sopir Kakaknya, yang daritadi hanya diam tidak berkata-kata walaupun terganggung dengan pertengkaran keduanya.
"Biasanya di pasar lama, Tuan Muda."
"Ke sana aja, Pak." Geografi kembali mengeluarkan handphone-nya, dan bermain game untuk mengurangi rasa bosannya. "Mana motor gue rusak," dumelnya.
"Geo...," panggil Alhena. "Bahunya disiniin, gue mau nyandar," suruhnya, sembari menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu. Alhena tidak masalah setiap hari harus berdebat maupun bertengkar dengan Geografi, ataupun mendapati tubuhnya luka-luka saat mereka selesai saling memukuli ataupun menampar karena kekesalan. Yang penting, lelaki ini tetap di sampingnya. "Jangan pergi...," bisik gadis bersurai panjang itu.
"Iya." Lelaki menurunkan handphone-nya, lalu memandangi wajah Alhena yang terlihat lebih pucat sore ini. "Udah ah, katanya mau asinan."
Gadis itu menggeleng samar. "Udah gak mau, maunya sate aja." Lalu tertidur di bahu lelaki itu, karena kedua kelopak matanya terasa memberat. Dan membuatnya tidak dapat menahan kesadarannya lagi.
Akankah yang seperti ini juga abadi?
Evermore.
Hai, karena tanggalnya udah lewat. Aku mau mengucapkan selamat anniversary untuk seseorang yang selalu ingin ada di tulisan aku. Tapi, aku belum bisa mewujudkannya karena aku belum mampu membagi dia kepada kalian semua. Karena dia hanya milik aku.
Terima kasih.

KAMU SEDANG MEMBACA
EVERMORE
Aktuelle LiteraturPersaudaraan adalah sebuah ikatan yang abadi di dunia ini. Entah bagaimana caramu memutus ikatan itu, tidak akan bisa lepas dengan cara apapun. Belasan tahun lalu, sebuah pandangan berbeda membuat jarak antara Alezna dan Aludra semakin jauh. Keegoi...