"Apa ini?" Wanita bersurai pendek itu bertanya saat sebuah tangan meletakkan botol kecil di atas meja. Ia menatap netra temannya yang lebih memilih menyesap teh hijau di cangkirnya, sambil menatap pemandangan di luar jendela. "Saya tidak mau melakukannya lagi," ucapnya, seakan menegaskan bahwa ia menghindari rasa bersalah itu.
"Aku hanya menyuruhmu mencampurkan itu ke dalam santapannya."
"Itu berbahaya."
"Bukannya kamu sudah melakukannya berulang kali, kenapa harus takut?"
Wanita itu mendesah kasar. "Kita sudah melenyapkan banyak jiwa yang belum bertumbuh. Apakah kamu belum puas?" Sudah berulang kali ia melakukan pembunuhan secara tidak langsung kepada sebuah jiwa tak berdaksa. Rasa bersalah kian menyelimutinya setiap kali ia menatap nayanika penuh harap dari anak didiknya. Tangan kanannya bergerak untuk mengusap kasar luka bakar yang ada di punggung tangannya. Terasa gatal. Seperti hukuman yang ia dapatkan.
"Dia membakar tanganmu saat dia membakar jiwaku, Gaida. Dia melanyapkan anak yang tidak pernah aku miliki. Apa aku salah kalau aku ingin melenyapkan anak-anaknya juga? Kalau aku tidak bisa memiliki anak. Dia juga harusnya tidak akan bisa, kan?"
.
.
."Apa kamu sudah mengirimnya kepada Kakakku, untuk bulan ini?"
Liana tersenyum kemudian mengangguk perlahan pada Puannya. "Tapi beliau menginginkan lebih daripada biasanya, Nyonya." Wanita itu berlutut, sembari memasangkan alas kaki pada Aludra yang baru saja ingin menapakkan telapak kakinya di permadani. "Saya berusaha menjelaskan, tapi beliau keras kepala, Nyonya."
"Untuk apa meninggalkan harta demi cinta? Dia terlalu buta dan tidak logis. Jatuh cinta bisa membuat orang lain kehilangan akal sehatnya dan merugikan dirinya sendiri. Kau tidak akan jatuh cinta kan, Liana?" Aludra berbalik, menatap asistennya yang terpaku dengan sisir di genggamannya.
"Eh? Apa, Nyonya?"
"Keluarlah. Riziq akan menggantikan tugasmu."
Liana memundurkan langkahnya, menunduk pelan pada Egriziq yang baru saja memasuki ruangan pribadi Aludra. Lalu memberikan sisir tersebut dengan perlahan.
"Kenapa dia pucat sekali?" Riziq bertanya, sesaat setelah mengambil sisir tersebut dari tangan Liana yang bergetar. "Padahal saya tidak memakannya."
"Padahal dulu aku memilihnya karena dia tidak kenal takut."
"Dia mudah bersimpati, Sica," ujar Riziq, dengan mata yang masih fokus pada rambut panjang Aludra. Menyisirinya dengan perlahan adalah rutinitas pria itu selama 18 tahun terakhir, dan menciumi aroma khas kasturi yang jauh menenangkan. "Seperti Malik."
"Malik bukan bersimpati tapi jatuh cinta kepada Esparka, 16 tahun lalu." Aludra menatap pantulan Egriziq yang masih sibuk membenahi rambut panjangnya. "Kematiaan Esparka bukan kesalahanmu, takdirnya sudah berhenti di situ."
Riziq mengangguk perlahan. "Kamu sangat cantik, Sica." Ia selalu memuji.
Tetapi pujiaan Riziq selama 18 tahun terakhir tidak pernah membuat Aludra tersipu layaknya bisikan Geografi pada Alhena.
Alhena akan menahan senyumannya setiap kali jemari Geografi menari-nari di ceruk lehernya, terasa menggelikan namun membuat isi dalam perutnya memanas. Dan bahkan dalam gelap-pun, Alhena selalu menemukan bibir tipis lelaki itu.
Manis.
Walaupun tercampur dengan ganja. Lelaki itu pasti merokok sebelum menemuinya di gedung belakang sekolah, tubuh gadis berparas cantik itu langsung menggeliat saat Geografi meremas bagian dalam pahanya dan menyentuh pelan bagian paling sensitif di tubuhnya.
"Akhh... sa—HAHAHAHA." Keduanya tertawa saat Geografi berhasil memainkan bagian intim tersebut dengan kedua jarinya. Dengan mata sayunya, gadis dengan pakaian seragam telah acak-acakkan itu menatap sang lelaki dalam.
"Lebih dalam?" Ia tertawa gemas saat sang gadis hanya memberikannya ciuman di pipi kirinya. "Tapi gue gak mau," godanya.
"Geo..." Alhena memohon, sambil menahan tangan Geografi yang berusaha keluar dari sana.
"Bukannya tadi ada orang yang capek yah?" Ia kembali menggoda.
"Lo sekalinya main gak mau berhenti, anjir!"
"Lah? Yang selalu minta lebih siapa?"
"Yang mulai duluan siapa?"
"Yang marah-marah kalau keluar duluan siapa?"
"GEO!"
Tawa Geografi pecah saat melihat wajah Alhena sudah memerah karena menahan emosi. Gadis itu selalu sama. Sama saat pernah kali mereka bertemu. Pertemuaan pertama seorang anak laki-laki berusia 6 tahun dengan anak perempuan cantik yang berusia satu tahun di atasnya. Geografi selalu terpukau setiap kali menatap wajah Alhena. Entah saat gadis itu berada di atas atau di bawahnya. Ia tidak bisa berbohong, kalau dia jatuh cinta dengan saudara ipar dari Kakaknya.
Oh No, I'm falling in love... again.
Tanpa berlama-lama Geografi menyatukan bibir tipisnya pada bibir ranum Alhena. Bahkan dalamnya ciuman mereka membuat keduanya lupa bahwa bernapas adalah hal terpenting untuk bertahan hidup.
Entahlah, mungkin saat jatuh cinta kita akan lupa bagaimana caranya bernapas, berpikir, melihat, bahkan mendengar dengan benar.
Mereka melupakan suara dering ponsel yang sudah berulang kali memanggil keduanya. Bahkan ponsel Geografi maupun Alhena saling bersautan bersamaan dengan laju nafsu keduanya.
.
.
."Malik, apakah kamu sudah mengecek keberadaan mereka tadi?" Aludra berdecak untuk kesekian kalinya saat ponsel Liana tidak mendapatkan jawaban sedikitpun dari kedua anak nakal tersebut.
"Saya sudah memeriksanya."
"Kau sudah menghubungi semua teman-temannya?"
Kini giliran Liana yang mengangguk.
"Sica, mereka bukan anak sekolah dasar yang perlu kamu khawatirkan. Mereka sudah dewasa." Egriziq bersuara sembari menikmati segelas wine-nya. Tindakan Aludra selalu berlebihan bila itu menyangkut Alhena, apalagi Geografi.
Dan Riziq terlalu memanjakan keduanya.
"Untuk apa Steven membuat benda tidak berguna ini kalau tidak bisa menukar informasi secara cepat!" Dia memaki pendiri iphone sembari melemparkan ponsel Liana ke arah lantai, lalu berjalan menuju paviliun-nya diikuti oleh Liana dan beberapa penjaga yang senantiasa mengelilinginya siang dan malam.
Ada jiwa lain dalam tubuh Aludra yang membuatnya harus lebih berhati-hati dengan beberapa makhluk yang bisa saja menjadi pembunuh. Ia tidak bisa memercayai orang lain. Dan Aludra harus melindungi Alhena dan juga Geografi. Mereka adalah harapan satu-satunya milik Victoria dan Windsor saat Aludra dan Riziq tidak bisa memenuhi tanggungjawab tersebut.
Aludra menghela napas.
Mungkin, Mertuanya benar. Dia seperti Kastilla yang dikutuk oleh takdir. Berapa kalipun Aludra mencoba, ia tidak akan bisa membuat anak-anaknya tetap bertahan di dunia ini.
"Kenapa sangat menyakitkan, Liana?"
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
EVERMORE
General FictionPersaudaraan adalah sebuah ikatan yang abadi di dunia ini. Entah bagaimana caramu memutus ikatan itu, tidak akan bisa lepas dengan cara apapun. Belasan tahun lalu, sebuah pandangan berbeda membuat jarak antara Alezna dan Aludra semakin jauh. Keegoi...