PROLOG.

684 51 2
                                    

"Kak, kata Geografi ada seseorang yang berlutut di depan pagar rumah kita. Apa aku bisa melihatnya?" Gadis bersurai panjang itu, membuyarkan keheningan di meja makan. Suara gemuruh petir, tidak membuatnya takut akan pandangan tajam sang Kakak dan Kakak Ipar yang masih fokus pada santapannya.

"Tidak." Wanita yang hampir berusia 4 dekade itu menjawab enggan.

"Kenapa?"

"Lhena, apa seorang pengemis terlalu menarik untukmu?" Kakak Iparnya menarik satu tarikkan di sudut bibirnya, seakan menyindir sang istri.

"Tapi pakaian wanita itu terlihat mewah," sela Geografi, menghembuskan asap rokoknya.

"Harus berapa kali aku memperingatkan adikmu untuk tidak menghisap ganja di meja makanku?" Kini giliran Aludra yang menatap Egriziq dengan tatapan tajamnya, wanita itu menghela napas panjang lalu berjalan cepat meninggalkan ruang makan diikuti asisten pribadinya.

"Kakakmu sangat sensitif."

.
.
.

"Apa kau terlalu menginginkan lelaki miskin itu?"

"Dia bukan lelaki miskin."

Gadis cantik itu menghembuskan tawanya, saat melihat sang Kakak membereskan semua barang-barangnya. "Jadi, menurutmu lelaki yang tidak jelas asal-usulnya. Dan seorang tunawisma adalah lelaki kaya?" Mata gadis itu memerah saat meneriakkan penghinaan untuk kekasih Kakaknya. "Dia hanya tunawisma yang tidak memiliki apapun, Alezna!"

"Apa uang sangat penting bagimu?"

"IYA! Aku lebih baik mati daripada tidak memiliki uang! Tubuhmu yang berharga, hanya kau tukari dengan janji manis pria itu. Apakah itu pantas?" Napasnya berburu, saat tamparan dari Alezna mengenai pipi kirinya. Terasa perih, tetapi tidak lebih perih daripada harus kehilangan kekayaan demi lelaki tunawisme.

Alezna menahan tangan kanannya yang bergetar setelah menampar sang adik. "Aludra, kami melakukan hubungan itu karena saling mencintai. Sebuah hubungan tidak bisa dijual ataupun dibeli dengan besar kecilnya uang." Suara Alezna juga ikut bergetar, setiap kali bertengkar dengan Aludra.

Adiknya terlalu keras kepala.

"Cinta tidak akan membuatmu hidup. Lebih baik singkirkan dosa itu."

"ALUDRA!"

"Aku bilang singkirkan!" Aludra mengarahkan pisau lipatnya ke arah perut rata sang Kakak, gadis itu memang selalu melakukan hal nekat untuk mempertahankan apapun dalam kehidupannya. Ia hanya ingin, sang Kakak selalu ada di sisi mereka. Bukan di sisi lelaki miskin yang merebut semua milik Kakaknya.

Alezna memundurkan langkahnya dengan perlahan. Berusaha mengatur napasnya, sembari memeluk perutnya. "Tidak Aludra, dia bukan dosa... Dia anakku."

"Anak? Apa kau sudah pantas menjadi seorang ibu?"

"Dan sampai hari ini, kamu yang tidak pantas menjadi seorang ibu."

Evermore.

EVERMORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang