Pergi & Bertemu

1 0 0
                                    

"Ra lo beneran mau pindah? Terus rumah lo yang disini gimana?" Tanya Sela, dirinya gak rela sahabat nya pergi begitu saja banyak kenangan dikota ini bersama Ira sejak kecil.

"Iya Sel tenang aja nanti kalo kamu kangen kan bisa nyamperin aku."

"Lo ninggalin Bunda lo sama Ayah lo sendirian? Kenapa nggak tinggal sama gue aja di rumah gue Mama dama Papa baik-baik aja kok lo tinggal dirumah gue."

Untuk meninggalkan kota yang banyak kenangan disini sungguh berat bagi Ira apalagi kedua orang tua nya di makamkan di kota ini. Tapi Ira nggak mau semakin terpuruk jika disini terus. Jadi keputusan untuk pindah ke luar kota mungkin yang terbaik.

"Nggak Sel, makasih banyak untuk tawarannya. Nanti gue main kesini lagi kok untuk lihat Bunda sama Ayah jadi gak usah sedih kita bisa ketemuan nanti." Ucap Ira tersenyum sambil memeluk sahabat nya.

.
.
.

Setelah perjalanan yang cukup melelahkan seorang perempuan dengan rambut terurai itu sedikit mengeluh juga tidak paham jalan, perempuan itu Ira sedang menelepon sesorang yang diyakini pemilik rumah yang akan di tempati Ira.

"Seger banget udara nya, beda sama di Jakarta." Gumam Ira sambil berjalan sesekali menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya dengan pelan.

Dari arah yang berlawanan segerombolan cowok ber almamater Universitas sedang bersenda gurau dengan bahasa yang tidak di mengerti Ira.

"Hai Mbak." Sapa salah satu dari mereka. Ira hanya tersenyum kecil melirik nya sebentar.

DEG.

Ira melihat Drevano di antara gerombolan cowok-cowok tadi, dia menoleh melihat sekali lagi apa penglihatannya tidak salah.

"Ewh genit banget." Ira bergidik ngeri ketika salah satu diantara segerombolan itu menoleh dan mengedipkan sebelah mata nya kepada Ira.

Ira masih memperhatikan sampai segerombolan cowok itu tidak terlihat oleh pandangannya. "Apa gue salah lihat ya."

.
.
.

"Akhirnya sampai juga, sederhana si rumah nya tapi nyaman banget padahal pertama kali kesini." Gumam Ira berbaring di ranjang baru nya.

Tidak ada siapa-siapa hanya Ira seorang, disinilah Ira membuka lembaran baru tanpa ada support dari orang yang Ira sayangi.

Tiba-tiba ketukan pintu membuat lamunan Ira buyar ia rapikan rambut nya lalu berjalan menuju pintu depan.

"Mbak orang baru yang dari Jakarta ya?" Tanya gadis yang masih memakai baju sekolah nya dilihat dari seragamnya gadis itu masih anak SMA.

"Iya dek kok tahu?"

"Salam kenal mbak aku tinggal di rumah yang itu." Tunjuk gadis itu ke arah rumah yang bertingkat nan luas.

Ira mengangguk paham.

"Aku dikasih tahu pembantu aku katanya ada orang baru yang tinggal di rumah sini jadi pulang sekolah aku langsung kesini. Soalnya disini sepi gak ada temen Abang aku sibuk udah mau lulus kuliahnya."

"Ohiya Jeya bisa kok main kesini, Mbak cuma sendirian disini."

"Hm kalo gitu nanti aku ajak abang aku kesini boleh kan Mbak?"

Panjang sekali obrolan mereka, Ira ingin mengajak untuk masuk ke rumah tapi Jeya menolak akan kerumah Ira besok saja.

.
.
.

"Mbak Ira lagi ngapain?" Tanya Ira keluar dari rumah nya sambil berjalan menghampiri Ira.

"Lagi diluar aja si Je hirup udara seger banget kan."

"Iya mbak di jakarta kalo keluar rumah hirup udara gak bagus."

"Dulu kamu di Jakarta?"  Tanya Ira merasa kalo Jeya begitu fasih ngomong bahasa indonesia tidak ada medok nya sama sekali.

"Iya, abang lulus Sma kami juga pindah ke Malang karena Papa juga bertugas disini jadi semua ikut."

"Oh pantes logat nya kok gak kayak orang sini aku kira."

Jeya tertawa. "Ohiya mbak aku kepikiran pacar abangku yang ditinggalin di Jakarta gimana ya keadaanya."

"Abang kamu ldr sama cewek nya?"

"Mungkin Mbak, abang juga gak pernah cerita si sering diemnya sekarang. Padahal dulu mau diketemuin sama cewek nya sampe sekarang belum tahu gimana ceweknya abang. Kan aku pengen punya kakak cewek." Ujar Jeya panjang lebar mengingatkan dirinya kepada Drevano yang sering sekali cerita tentang adik perempuannya.

"Jeyaa!"

"Kak aku pergi dulu ya."

"Kenapa suara abang Jeya mirip suara Drevano."

Sayang nya cowok itu memakai helm full face tidak bisa melihat wajah dibalik helm tersebut.

Kenapa setelah pindah ke kota ini Ira merasa ada kehadiran Drevano di sekelilingnya. Tidak mudah bagi Ira melupakan cowok itu kebahagiaan yang diberikan Drevano untuk nya tidak sebanding dengan rayuan laki-laki diluar sana yang modal omongan doang.

Drevano tetaplah Drevano laki-laki yang menggenggam erat hatinya kini melepaskannya begitu saja.

Waktu berjalan begitu saja, sudah satu bulan Ira bekerja sebagai kasir di kopishop yang sering dikunjungi oleh anak-anak kuliahan.

"Ira." Panggil seorang cowok dengan pakaian rapi dan nada panggilannya yang ramah. Tapi Ira tidak mengenali cowok di depannya ia mengernyitkan dahinya meneliti apakah kenal. Tapi nihil Ira tidak pernah tahu.

"Gue temennya Drevano, dia sering cerita tentang lo dulu sempet ngelihat lo di warung kayak nya lo lagi nangis." Ujar cowok di depannya.

"Maaf ya kalo mau ngobrol ntar aja banyak pesanan."

"Its oke, gue tunggu disini."

Cowok itu memesan minuman lalu pergi duduk. Kenapa dirinya tidak pernah tahu kalo Drevano punya teman setampan cowok itu. Ah Ira sadar lo.

"Ira samean sudah boleh pulang dulu, delok en kui pacarmu udah nunggu lama." Ucap rekan kerja nya dengan sedikit ledekan.

"Itu bukan pacar gue Lin, temennya mantan gue." Jelas Ira.

Berlin hanya senyam-senyum banyak arti. "Bisa dong masnya itu sama aku." Ira dan Berlin hanya cekikikan tidak jelas. Senang sekali Ira dipertemukan dengan rekan kerja yang sangan bersahabat dengan dirinya walaupun kadang Ira tidak paham jika Berlin sudah ngomong dengan bahasa daerahnya.

"Tau nekatku mencinatimu nanging koeee malah milih ngeboti tresno liyane. Sakiki aku dudukk siji-sijineee" Berlin bernyanyi ria sambil menata gelas-gelas pada tempat nya. Ira geleng-geleng kepala saja tidak paham arti lagu nya.

"Hai udah lama ya."
"Lumayan si. Ayo ikut gue."
"Hm ikut kemana nih."
"Yakali kita mau ngobrol di kopishop yang udah tutup."

Disinilah mereka berdua didepan minimarket tang tidak jauh dari kopishop biasa anak muda nongkrongnya di emperan minimarket.

"Kenalin gue Reza temen Vano."
"Iya, tujuan lo apa nemuin gue." Ira seperti tidak nyaman dengan posisi duduknya rasanya ingin pamit pulang.

"Santai Ra, gue cuma pengen tahu cewek mana si yang buat Vano gak ngelirik cewek-cewek geulis di Malang." Ucap Reza dengan tertawa renyah.

"Ikut gue." Tiba-tiba pergelangan tangan Ira ditarik begitu saja dengan seseorang. Ira terkejut dengan kehadiran seseorang didepannya.

"VANO!?"
"Vano lepasin!"




















Bersambung

Dia Kembali!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang