Ke Rumah Baru

0 0 0
                                    

Ira terbatuk-batuk di tempat nya pasal nya dia kekeuh tidak mau pulang sampai cowok itu yang nganterin. Malah pilihannya ini hanya memperburuk keadaannya.

Drevano cowok itu ikut gabung dengan teman-teman nya di ujung sana tempat ini sempit tapi panjang di dinding ada pajangan jenis-jenis tokok elektrik dari yang sekali pakai sama yang bisa di isi ulang. Ira tidak terlalu paham soal itu cuma pernah dengar saja.

Ira memegangi dada nya nafas nya tersengal-sengal dirinya dari kecil tidak suka bau asap apalagi asap rokok. Ruangan ini tidak ada lubang celah untuk keluar masuk udara, pengap sekali tapi teman-teman Drevano dengan santai nya menghisap rokok dan menghembuskannya sembarangan.

Kalau kayak gini daritadi dia pulang tanpa di menunggu diantar Drevano. Cowok itu kelihatannya asik dengan para teman nya tanpa melihat keadaan dirinya yang hampir setengah mati karena asap rokok teman nya. Padahal tadi cowok itu memperingatkan temannya agar tidak merokok jika ada cewek disini. Apalagi dirinya cewek pertama yang dateng disini.

Udah-udah senang nya belakangan dulu, ini rasanya hampir mati. Buru-buru Ira berjalan keluar dengan sempoyongan mulut nya ia bekap seperti mau mual, nafas nya tidak bisa stabil seperti biasa nya.

Tiba- tiba tubuh nya tidak bisa diajak berkompromi jatuh pingsan tidak sadar setelah nya gelap.

"Woy Dre cewek lo pingsan." Teriakan dari teman nya Drevano itu yang terakhir Ira dengar setelah dirinya tidak sadar penuh.

.
.
.

Satu jam Drevano menunggu Ira sadar perasaan nya tampak gelisah, kini hanya ada dirinya seorang teman-teman nya tadi yang ikut kesini sudah pada pamit pulang.

Drevano berjalan masuk ke dalam didapati tubuh Ira yang masih terbaring dan mata yang tak kunjung terbuka.

"Salahin gue Ra yang gak mau nganterin lo pulang." Ucap Drevano sambil memandangi wajah pucat Ira.

Pintu ruangan terbuka hadir sosok gadis dengan wajah kesal sudah pasti ditujukan kepadan Drevano.

"Bang gimana sih sampek Mbak Ira kayak gini, besok Mama pulang Abang jelasin sendiri." Ujar gadis itu yaitu Jeya adik Drevano.

"Kamu bilang ke Mama soal ini?"

Jeya mengangguk, lalu mendekat ke arah Ira dengan raut yang sangat sedih.

"Bang Vano kalo gak suka sama Mbak Ira jangan kayak gini dong, Abang gak tahu kalo Mbak Ira itu masih sayang banget sama Abang. "

Drevano hanya diam.

"Bang keliatannya Abang capek mending pulang dulu deh, biar aku yang nungguin. Makan dulu sana."

"Nggak mau."

"Ngeyel banget di omongin nanti pingsan lagi kalo kelaparan." Pasal nya Drevano dulu pernah pingsan gara-gara belum makan sama sekali.

"Iyadeh kamu jagain ya."

Jeya mengangguk tapi reaksi Drevano seperti enggan meninggalkan ruangan, Jeya mengibaskan tangan nya sambil meyakinkan Abang nya kalau keadaan akan baik-baik aja.

.
.
.

Ruangan kamar inap Ira sunyi Jeya tadi pamit pulang karena besok ada ujian penting sedangkan Drevano cowok itu diam seperti patung menatap kearah Ira yang terbaring pucat.

"Maafin gue Ra, gue terlalu pengecut soal jagain lo."

Drevano mendekat kearah brankar menundukkan kepala nya menempelkan bibir nya dikening Ira. "Bangun ya Ra gue khawatir."

Ke esokannya suara ribut dari perempuan paruh baya membuat Drevano terusik dari tidur nya yang cuma beberapa jam saja.

"Ma kapan pulang?"

Perempuan paruh baya itu enggan menjawab malah melayangkan pandangan tidak persahabat. Drevano pasrah menghela nafas panjang sesekali mengucek mata nya yang gatal karena bangun tidur.

"Udah lah Ma kita balik ke rumah aja yuk." Ajak seorang pria seumuran perempuan itu.

"Nggak mau Pa, liat anak Papa gak bertanggung jawab sama sekali. Kita nikahin aja mereka Pa gimana?"

Drevano yang mendengar itu mendelik tidak percaya dengan ucapan Mama nya.

"Ma aku belum skripsi loh, aku gak setuju sama ide Mama. Memang dengan perjodohan bisa membuat kami bahagia hm?"

Papa nya mengangguk.

"Mama yakin dan ini keputusan Mama gak bisa diganggu gugat titik."

.
.
.

Ira sudah sadar sore tadi pertama kali yang ia lihat adalah tatapan datar Drevano, sejak tadi Drevano diam tanpa mengucap sepatah pun kepada nya.

"Ira besok dibolehin pulang sama dokter pulang ke rumah Mama ya biar ada yang jagain kamu."

Nada khawatir dari Bela, Mama dari Drevano dan Jeya itu membuat Ira tidak enak hati dari tadi membujuk nya untuk pulang ke rumah nya. Ira dari tadi berfikir dan ide untuk tinggal bersama Drevano dan keluarga nya adalah ide bagus.

"Tante, Ira mau tinggal sama Tante."

Bela tersenyum cerah mendengar perkataan dari Ira tapi Drevano berbeda dia melayangkan tatapan dingin yang sulit diartikan.

"Tapi kamu gak keberatan kan kalo nanti tinggal sama Drevano dan Jeya karena Tante sering ikut perjalanan bisnis Papa Vano?"

Ira mengangguk.

.
.
.

"Lo kenapa gak nolak?" Pertanyaan yang ditujukan secara tidak langsung kepada Ira membuat cewek itu menoleh ke arah Drevano yang duduk di sofa ujung sambil memainkan ponsel nya.

"Nggak bisa nolak sama lo harus tanggung jawab gue bisa gak sadarkan diri selama hampir tiga hari hmm."

"Dih keras kepala lo."

"Emang."

Hening sejenak.

"Hm Vano bantuin gue ke toilet."

Drevano malah pura-pura tidak dengar dan meluruskan kaki nya sambil memutar landscape ponsel nya main game.

"Drevano. Vano!"

"Ish gue harus bisa sendiri."

Menurunkan kaki nya perlahan satu persatu, lalu ia ambil infus dari tempat nya berjalan pelan ke arah toilet.

Drevano melirik sekilas rasa was-was menjalar di perasaan nya. Terdengar suara nafas Ira yang tidak beraturan membuat Drevano sedikit takut.

"Gue bantu." Ucap Drevano sambil memegangi pundak Ira.

"Sok-sok an gak peduli padahal hati nya takut gue kenapa-napa."

"Gue lepas nih infus lo biar sesek lagi."

Ira mendekat kan wajah bya ke arah Drevano. "Emang berani?"

.
.
.
"Yeay Mbak Ira tinggal disini." Teriak Jeya senang.

"Jeya yang baik ya dirumah Mama sama Papa mau pamit habis ini ke Jogja lagi."

"Siap Ma dengan senang hati Jeya selalu baik terus karena ada Mbak Ira."

Bela membisikkan sesuatu ke telinga Drevano lalu tersenyum jahil ketika sang Putra melotot tidak percaya.

"Ma Aku gak percaya."

"Gak percaya kenapa si Van?"

"Mama udah tahu keluarga Ira sejak kapan?"

Bela tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Drevano lalu pamit kepada semuanya untuk ke Jogja lagi.

"Van."

"Vano."

"Apa?"

"Balikan lagi sama gue yok."

Banyak hal yang tidak terkira dikehidupan nya
kehilangan kedua orang tua nya, diputusin pacar nya lalu sekarang tinggal se atap dengan sang mantan. Tapi dengan siapa lagi dirinya bergantung? Mungkin mengajak kembali hubungan nya seperti dulu bersama mantan nya adalah hal yang menyenangkan.
















Bersambung

Dia Kembali!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang