Rencana Apa?

0 0 0
                                    

Ira mendongakkan matanya melihat Drevano didepannya membuat perasaanya tenang, tubuhnya merasakan kehangatan lama sekali Ira tidak merasa setenang ini. Pelukan Drevano selalu mengingatkan nya kepada almarhum ayah nya yang tidak pernah ia rasakan dekapan hangat nya.

"Ra kenapa tadi gak bilang si kalo di ikutin om-om gila tadi." Tanya Drevano yang masih mendekap Ira.

Hanya respon gelengan kepala yang Drevano rasakan. Drevano melepas pelan pelukannya melihat wajah sembab Ira.

"Ini yang gak gue suka dari lo Ra, lo selalu nyembunyiin sesuatu yang bisa bahayain diri lo sendiri padahal bisa minta tolong ke orang lain buat nanganin masalah lo."

Ira tercengang dengan ucapan Drevano air matanya ia usap dengan kasar matanya menatap tajam Drevano.

"Gue pernah minta tolong waktu gue hampir di celakai cewek yang naksir lo tapi apa? Lo malah bela cewek itu dan nenangin gue seakan semua baik-baik aja." Ira ingin menangis tapi ia tahan amarahnya ia keluarkan dihadapan Drevano.

"Gue selalu sangkut pautin lo dalam masalah gue bahkan semua masalah gue elo tau semua Van! Tapi disaat gue dalam bahaya lo selalu sibuk dan lo tau? Disaat gue butuh lo di hari terakhirnya Bunda lo mutusin gue. Dunia gue hancur Van! Gue gak punya siapa-siapa." Ira tidak tahan untuk tidak menangis, Drevano ingin mendekat tapi isyarat dari Ira membuat Drevano berhenti.

Bahkan ucapan maaf dari Drevano terdengar biasa saja di telinga Ira.

"Ini pertemuan terakhir, besok dan seterusnya gue gak mau ketemu lo lagi."

Ira pergi meninggalkan Drevano dengan tatapan yang sulit diartikan.

.
.
.

"Bang Van, tau gak tadi aku lihat Mbak Ira tetangga depan itu kayak lagi sedih padahal orang nya kelihatan ceria tapi tadi kelihatannya sediiiih banget." Ucap Jeya dengan antusias.

Drevano hanya mendengarkan.

"Bang kenapa Abang gak pacaran aja sama Mbak Ira." Ucapan tersebut membuat Drevano tersedak begitu saja padahal tidak lagi makan ataupun minum.

Uhuk..uhukk..

"Bang kenapa? Jeya ambilin minum ya." Drevano mengisyaratkan dengan melambaikan tanganya.

"Ehm Abang ke kamar dulu, tenggorokan Abang sakit nih."

.
.
.

"Awakmu kenapa Ra habis nangis a?" Tanya Berlin melihat wajah sembab Ira yang tidak seperti biasanya.

Ira hanya tersenyum lalu pergi kebelakang untuk memakai celemek nya.

Malam ini Ira hanya menampakkan senyumnya kepada pelanggan bahkan Berlin teman nya malah diberi tatapan datar Berlin geleng-geleng melihat perubahan sifat Ira yang tidak seperti biasanya.

"Runggkaddd entek-entek an kelangan koe seng paleng tak sayang---"

"Bisa diem gak Lin." Judes Ira.

"Haduh Ra biasanya juga diem aja kalo aku nyanyi, onok opo to karo awakmu? Gak sehat ta."

"Gue pulang dulu." Pamit Ira begitu saja.

"Biasnya juga ngobrol bentar baru pulang, ada apasi sama Ira. Ah mungkin dia belum berani cerita biarin lah." Gumam Berlin ngomong sendiri.

Setelah pulang dari Kopishop Ira mampir ke sebuah minimarket untuk membeli sedikit kebutuhannya di rumah, setelah selesai dengan barang yang di beli Ira duduk sebentar di teras minimarket hanya ada Ira seorang karena waktu sudah terlalu larut. Ira membuka plastik permen dan memakannya. Manis, Ira merasa sedikit senang lengkungan di bibirnya membuat seseorang yang melihat akan terpesona.

Senyuman Ira memudar karena kedatangan seseorang yang sedang memarkirkan motornya di depannya. Ira sudah tahu siapa orang itu. Cowok itu membuka helm nya lalu ia taruh diatas spion lalu masuk ke minimarket tanpa menggubris keberadaannya yang jelas di depannya.

"Bagus deh dia kayak gitu." Gumam Ira yang tidak sinkron dengan hati nya.

Kepala Ira menoleh kebelakang mencari keberadaan cowok itu tapi belum sempat menghindari tatapan cowok itu, Ira sudah ke gep karena sedang menatap nya.

"Aisshhh malu gue." Ira segera beranjak dari tempat duduk nya dan berjalan pulang.

Jarak tempat kerja dengan rumah hanya beberapa menit saja kini Ira sudah di depan rumah nya saat ingin membuka pintu suara teriakan Jeya mengurungkan niatnya ia menaruh barang belanjaannya di meja teras.

"Mbak Ira tolong dong bantuin aku ngerjain PR besok dikumpulin daritadi nungguin Abang lama banget."

Ira ingin menolak tapi raut wajah memohon Jeya membuat Ira luluh.

"Yaudah Mbak bantu."

"Masuk Mbak."

Satu kata ketika Ira memasuki rumah ini 'sepi' tidak ada keberadaan orang tua yang menyambut nya.

"Hm Mbak orang tua aku jarang pulang ke rumah ini mereka di Jakarta kesini kalau ada bisnis doang." Ucap Jeya menjawab pertanyaan di hati nya.

"Berdua doang tinggal nya?"

"Sama Art tinggal nya di belakang Mbak." Ira mengangguk paham.

Ira dengan teliti membantu tugas Jeya sampai tidak sadar kalau Drevano sudah pulang ke rumah.

"Pantesan nggak nungguin di depan." Gumam Drevano lalu berjalan menghampiri mereka.

"Bang udah pulang." Ucapan Jeya membuat Ira mendongakkan pandanganya melihat Drevano yang juga menatap nya.

"Heem."

"Je sudah selesai ya ini tinggal kamu baca lagi di halaman pertama tadi sudah ada jawabannya, Mbak pulang dulu."

Ira melewati Drevano begitu saja.

"Bang bengong aja, kenapa naksir ya sama Mbak Ira. Kalau iya ntar aku kenalin." Goda Jeya.

"Apaansih Je, Ira itu mantan Abang yang sering Abang ceritain."

"Hah? Jeya gak sadar kalo foto yang sering Abang kasih ke Jeya itu Mbak Ira." Ujar Jeya berpura-pura terkejut pasal nya tadi sebelum Abang nya pulang Ira sudah bercerita tentang hubunganya dulu bersama Drevano.

Seketika Jeya paham apa yang harus ia lakukan kali ini dirinya membatin minta maaf kepada Drevano jikalau perbuatannya membuat Abang nya kesusahan ataupun risih.

"Bang minta nomor nya Mas Reza dong." Jeya bergelayutan di lengan kanan Drevano.

Drevano sedikit menyentak tapi tidak semudah itu untuk Jeya melepaskan nya. "Bang please minta nomor nya mas Reza aku pengen ngenalin ke Mbak Ira udah janji tadi kasihan kan Mbak Ira sendirian." Jeya melihat raut wajah Abang nya yang berubah seketika menjadi kesal. Rencana nya berhasil batin Jeya.

"Gak, kenapa harus Reza cowok lain kan banyak tuh."

"Ya kan temen nya Bang Vano yang aku kenal baik cuma Mas Reza."

"Kenapa si Je susah-susah ngenalin orang. Orang yang mau kamu kenalin aja biasa aja nggak ngotot gitu. Udahlah Abang capek mau tidur."

"Yaudah kalo gitu Abang harus balikan lagi sama Mbak Ira!" Teriak Jeya dibalik pintu kamar Drevano.

Drevano ingin menanyakan sesuatu kepada adik nya darimana dia tahu soal hubungannya sama Ira, tapi karena terlalu capek mungkin dia akan bertanya besok saja.

Jeya tersenyum senang ketika mengetikkan pesan singkat kepada seseorang.

Soal keingingan Jeya, Mama harus turutin kalo nggak, Jeya pergi dari rumah biarin.









































Bersambung

Dia Kembali!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang