14. | Baikan Dulu |

11 2 0
                                    

Reynal
Nanti malem gue ke rumah lo, ya. Mau main😊
Boleh, kan?

Kevia
Dateng aja

Reynal
Okesiap😉

Sudah hampir sepuluh menit Kevia memandangi kolom perpesanannya dengan Reynal tadi sore dengan perasaan gelisah. Sekarang pukul tujuh lebih, tapi pemuda itu tak juga mengabari apa pun.

Ya ... memang salahnya, sih, tak meminta untuk dikabari. Tapi seharusnya Reynal sebagai tamu inisiatif untuk mengabari. Apakah sudah siap-siap, atau sudah mau otw, sudah dijalan, atau bahkan sudah di depan. Terserah. Yang penting mengabari.

Kalau diberi kabar begitu Kevia, kan, jadi tidak kebingungan. Apakah pemuda itu jadi main atau tidak.

"Lo kenapa, sih? Daritadi kayak cacing kepanasan."

Kevia mengalihkan pandangannya dari ponsel di genggaman ke Sena yang duduk tak jauh darinya.

"Ish, nanya mulu lo, Kak. Udah dibilangin temen gue mau dateng," balasnya kesal. Sudah lebih dari tiga kali kakak sepupunya itu mengomentari dirinya malam ini dan jelas itu membuatnya dongkol.

Di tempatnya, Sena memutar bola mata. "Yaelah, temen siapa, sih? Lebay banget lo. Kayak mau kedatangan artis aja," cibirnya.

"Emang yang dateng ponakan artis." Kevia menanggapi dengan pelan agar Sena tak mendengar. Ia memang sengaja tak memberitahu Sena kalau Reynal akan datang. Bisa-bisa kakak sepupunya itu heboh sekarang juga.

Malam ini Sena memang main ke rumahnya dan berencana untuk menginap karena kedua orang tuanya pergi dan baru akan kembali besok sore. Kakak sepupunya itu memang selalu tidur di rumahnya saat orang tuanya pergi. Hal yang menjadi sebuah kebiasaan semenjak ia tinggal di sini bersama ayahnya dan Liana.

Kevia sendiri tak masalah karena justru ia merasa senang karena ada teman tidur. Dan entah mengapa kedatangan Sena bertepatan dengan kedatangan Reynal kemari. Sebuah kebetulan yang membagongkan baginya karena pasti nanti Sena akan heboh tak karuan. Namun, biarlah. Tak mungkin dirinya mengusir Sena, kan?

Lagipula, ia sudah menyiapkan sebuah rencana agar Sena dan Reynal tak perlu bertemu.

"Temen lo yang mana yang mau dateng? Perasaan dari dulu temen lo cuma Dita." Sena kembali mengoceh, meski pandangannya lurus pada ponsel di tangan.

"Diem lo ah."

Sena mencebik, lalu kembali fokus menekuri ponsel tanpa membalas apa pun. Kevia sendiri juga membuka ponsel, mengecek apakah ada pesan dari Reynal atau tidak. Dan ... nihil. Tak ada pesan apa pun yang pemuda itu kirimkan.

"Aduh, kok dia nggak ngabarin apa-apa, sih?" Kevia berdecak. Keresahan dan kegugupannya kian menjadi. Meski sebagian hatinya yang lain merasa tenang karena ayahnya tidak di rumah.

Pria itu pergi untuk urusan bisnis tadi sore dan baru akan pulang besok atau lusa. Jadi ia tak perlu menjelaskan apa pun. Liana ... wanita itu jelas tidak akan ikut campur dan Kevia tahu betul Liana tidak akan mengadu apa pun pada ayahnya.

Tidak, bukan karena ia pernah mengancam. Hanya saja, Liana memang sosok ibu yang baik dan idaman. Namun, sebaik apa pun Liana padanya, itu semua belum cukup untuk membuatnya menerima Liana dalam hidupnya sepenuh hati.

Panggilan untuk Kevia disusul ketukan pada pintu membuat Kevia serta Sena kompak menoleh.

"Kevia, boleh Mama masuk?"

"Kev, nyokap lo tuh."

Kepada Sena, Kevia melotot lebar. Sena yang sadar akan makna pelototan seram itu, segera meralat kata-katanya.

Wrong ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang