23. | "Tunangan," katanya. |

14 2 0
                                    

Kevia keluar kamar dengan tidak semangat. Hari ini mood nya sangat buruk karena kejadian tadi malam.

Harapannya, tidak ada orang yang membuatnya jengkel disaat ia sedang dalam mode senggol bacok seperti ini.

"Eh iya, Mama lagi bikin sarapan. Kamu habis ini bisa langsung sarapan karena sebagian udah siap di meja. Ini Mama sengaja bikin banyak biar bisa kamu bawa. Nanti Mama siapin, ya?"

Seperti biasa, Liana yang sedang berkutat di depan kompor menjadi pemandangan yang selalu ia lihat setiap ke dapur.

"Makasih, tapi nggak perlu. Aku mau langsung berangkat habis ini."

Sembari mengambil air minum, Kevia membalas dengan tak acuh.

Senyum Liana sempat memudar mendengar balasan itu, tapi secepat kilat ia kembali mengembangkan senyumnya. "Ooh gitu, ya udah nggak apa-apa. Nanti biar Mama kasih uang lebih."

Kevia tak menanggapi karena kini matanya mengamati ke sekeliling, mencari seseorang yang kehadirannya tak terlihat. Biasanya, di pagi hari ini ayahnya sudah duduk santai di kursi sambil menikmati secangkir kopi.

"Kamu nyari Papa, ya? Dia lagi tidur, kecapekan kayaknya. Kan kamu tahu sendiri dia tadi pulang jam tiga pagi. Mama nggak berani bangunin. Kalo kamu butuh apa-apa, nanti Mama bisa bilangin ke Papa."

Menyadari gelagat sang anak, Liana segera berinisiatif memberi penjelasan.

Mendengar itu, alis Kevia bertaut. Apa maksud wanita itu?

"Sekali lagi makasih. Tapi, tentu aku bisa langsung bilang ke Papa kalo aku butuh sesuatu tanpa perlu repot minta bantuan ke Mama, kan?"

Kali ini, senyum Liana benar-benar pudar. Ia terpaku. Kata-kata Kevia barusan benar-benar menegaskan kalau dirinya bukanlah siapa-siapa di mata gadis itu.

Sementara, Kevia sendiri menghela napas. Ia tak berniat menyerang Liana pagi-pagi, tapi suasana hatinya yang buruk membuatnya berlaku demikian.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Kevia berjalan keluar. Meninggalkan Liana yang tetap terpaku di tempatnya.

****

Sepulang sekolah, Dita mengajak Kevia untuk hangout sebentar di mall untuk refreshing setelah mengerjakan soal ulangan fisika di jam terakhir tadi.

Kevia yang mood nya sedang buruk karena Valerie tentu saja langsung setuju. Ia juga butuh refreshing agar otaknya tak terus-terusan memikirkan hal itu.

Juga agar ia bisa sejenak melupakan Reynal yang hari ini ia abaikan.

"Sumpah, ya, Bu Fatma tuh kalo ngasih soal nggak kira-kira banget. Dikira muridnya titisan Einstein semua apa? Kepala gue sampe hampir meledak tadi gara-gara mikir jawabannya."

Sambil berjalan menyusuri mall, Dita terus saja menumpahkan kekesalannya pada guru pengampu fisika yang galak itu.

"Lebay lo. Gue aja biasa aja ngerjainnya. Itu, sih, lo nya aja yang dodol." Kevia meloloskan tawa puas usai mengejek sahabatnya.

Dita mencibir. "Iya tau, deh, yang pinter."

Kevia tertawa lagi. "Udahan ah ngeluhnya. Kita, kan, ke sini mau seneng-seneng. Nggak usah bahas-bahas pelajaran bisa kali. Udah kenyang, nih, sembilan jam belajar," ujarnya sambil merangkul pundak Dita.

"Iya iya. Gue cuma lagi kesel aja, tuh, sama Bu Fatma. Dia nggak tau apa, ya, kalo orang yang menyusahkan orang lain itu kelak bakal dibuat susah sama Allah." Dita berucap dengan berapi-api.

Kevia menatap sahabatnya prihatin. "Lo bener-bener butuh asupan kayaknya, Dit. Omongan lo mulai ngelantur soalnya."

"Lo tau aja kalo gue laper, Kev." Dita cengengesan.

"Oke, jadi kita mau makan dulu? Lagian kita udah lima belas menit kita jalan-jalan nggak jelas. Lumayan capek juga, nih, gue."

"Makan apa, ya? Solaria mau? Gue lagi bm nasi gorengnya."

"Boleh. Gue juga udah lama nggak ke solaria."

****

Usai mengisi perut, Kevia dan Dita lanjut berkeliling. Suasana mall mulai sedikit ramai oleh orang yang baru pulang kerja karena hari sudah semakin sore.

"Ke H&M yuk, Kev. Siapa tau lagi ada promo. Gue mau nambah koleksi hoodie," ajak Dita dengan semangat karena tenaganya sudah full.

"Yuk. Siapa tau gue juga tertarik beli." Kevia setuju. Mereka pun berjalan menuju gerai baju yang sudah sangat terkenal itu.

Suasana di dalam H&M cukup ramai. Dita langsung mencari diskon, sementara Kevia melihat-lihat. Hingga kemudian ia merasa kandung kemihnya mengeras. Ia butuh toilet segera.

"Dit, gue ke toilet bentar, ya," pamit Kevia pada Dita yang masih sibuk mencari hoodie dengan harga diskon.

"Mau gue anter, Kev?"

"Eh nggak usah. Lo milih-milih aja. Gue cuma bentar kok. Yang penting lo jangan ke mana-mana dulu. Tungguin gue."

Setelah berkata demikian, Kevia bergegas mencari toilet terdekat. Selesai buang air kecil, Kevia mencuci tangan di wastafel sambil mengecek penampilannya di kaca.

Masih oke, meski wajahnya sedikit kusam dan berminyak.

Setelah semuanya selesai, Kevia berniat keluar. Namun belum satu langkah pun ia berjalan, Kevia mengurungkan niatnya begitu melihat siapa yang masuk.

"Loh, Kevia?"

Kevia memutar bola matanya kesal. "Lo lagi lo lagi. Kenapa, sih, gue harus ketemu lo terus?"

"Kamu pikir aku juga suka sering-sering ketemu kamu begini? Hell no! Males tau nggak, liat kamu terus." Clara membalas dengan sama kesalnya.

"Dih, apalagi gue. Muak gue liat muka lo." Kevia menanggapi dengan lebih sadis, membuat Clara mendengkus.

"Kamu ngapain di sini? Lagi jalan-jalan sama Reynal?" tanya Clara mengubah topik.

Kevia mengerenyitkan keningnya dengan perasaan tak senang. "Kepo banget lo jadi orang. Terus ngapain lo bawa-bawa Reynal? Iri karena nggak bisa jalan bareng dia?"

"Hei, santai. Aku cuma mau mastiin apa hubungan kalian baik-baik aja atau nggak."

Atas ucapan Clara tersebut, Kevia menatap gadis itu tajam. "Apa maksud lo? Hubungan gue sama Reynal baik-baik aja, ngerti?"

"Yakin baik-baik aja bukannya lagi renggang?" Clara menaikkan satu alisnya sembari tersenyum.

Kevia makin geram dibuatnya "Nggak usah sok tau, deh, lo. Tau apa lo tentang gue sama Reynal?"

"Oh, tentu aja aku tau banyak tentang kalian." Clara melipat tangannya di depan dada. "Kevia, aku saranin kamu siapin diri buat diputusin, deh, sama Reynal."

"Lo mau gue tampar, ya? Asal banget kalo ngomong!" bentak Kevia dengan amarah yang memuncak.

"Loh, aku nggak asal, Kev. Aku ngomong bener karena denger-denger ... Reynal mau tunangan." Clara memberitahu informasi itu dengan bisik-bisik, seolah mereka berdua sedang menggosipkan sesuatu.

Kevia menganga. Apa maksud Clara? Reynal akan bertunangan? Tidak mungkin! Lagipula ... dengan siapa?

"Lo diem atau tetep ngomong tapi mulut lo gue sobek-sobek?" Kevia memberikan ancaman mengerikan, tapi itu sama sekali tak membuat Clara takut.

Gadis itu justru tersenyum. Puas dengan reaksi Kevia. Clara lalu menarik napas, bersiap mengeluarkan bom terakhirnya.

"Kev, emang kamu nggak mau tau siapa calonnya? Tapi yang jelas, sih, bukan kamu, ya. Kan Tante Valerie nggak suka sama kamu."

To be continued

****

Anjir banget ni Clara, udah diperingatin sana-sini masih aja ngerusuh. Bandel bgt si jd orang🤬🤬🤬

Wrong ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang