04. Dua Terbawah

3 0 0
                                    

Saya menguap, bosan. Menggulir ponsel tanpa tujuan, semakin lama semakin membosankan, tetapi jika saya tanpa ponsel, semakin tidak ada kegiatan. Bolak-balik saya mengunjungi laman beragam aplikasi sosial media. Tidak ada yang menarik. Lalu, saya terpikirkan untuk membuka YouTube, barangkali ada sesuatu yang bagus untuk ditonton.

Awalnya tidak ada apa-apa yang membuat gerakan ibu jari berhenti. Mata saya memindai dengan cepat.

Di satu video, saya membiarkan ibu jari mengambang. Itu video dari penggalan berita. Penasaran, saya klik, mendengarkan dengan seksama.

Video tersebut berisi pembaca berita yang menunjukkan data di layar besar di belakangnya perihal peringkat minat membaca Indonesia. Posisi pertama diduduki oleh Finlandia, disusul Norwegia, lalu Islandia.

Saya tidak menemukan nama Indonesia dideretan sepuluh besar, berlanjut dua puluh besar, sampai tiga puluh, mata saya masih belum menemukan nama Indonesia.

Tepat saat guliran pembaca berita berhenti, barulah saya tahu di mana posisi Indonesia—peringkat 60 dari 61 negara. Itu artinya, negara kita berada di peringkat kedua dari bawah.

Menyedihkan. Kata yang menggambarkan kondisi minat baca masyarakat kita.

Saya semakin dibuat penasaran, mengapa negara kita menjadi kedua dari bawah?

Jemari saya mengetik dengan cepat pada pencarian di internet, salah satu tempat jurnal-jurnal yang mampu menuntaskan keingintahuan saya.

Saya membacanya dengan khidmat. Malam hari kian sunyi, saya tenggelam dengan jurnal yang saya baca.

Untung menciptakan negara yang maju, bukan hanya dengan mengandalkan sumber daya alamnya yang melimpah ruah, tetapi juga dengan membangun sumber daya manusianya yang literat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

Hal ini sangatlah sejalan dengan cita-cita bangsa yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945—mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu cara agar suatu bangsa memiliki masyarakat yang cerdas adalah dengan menumbuhkan minat membaca.

Data dari World Bank tahun 2018 menyebutkan kualitas sumber daya manusia Indonesia berada di peringkat 87 dari 157 negara. Ada pun data dari Business World juga memaparkan bahwa Indonesia berada di peringkat 45 dari 63 negara dalam hal daya saing. Sangat jauh dibandingkan negara tetangga, yaitu Singapura dan Malaysia yang menduduki peringkat 13 dan 22.

Minat membaca merupakan suatu pondasi dasar dalam menciptakan sumber daya manusia yang berintelektual tinggi, unggul, serta mampu bersaing secara global.

Membaca merupakan kunci ilmu, sedangkan ilmu sendiri salah satunya dari buku. Selain itu juga, membaca ternyata perintah Allah SWT. Sebagaimana tertuang dalam QS Al-Alaq ayat 1-5 (iqra). Seharusnya masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, mampu melakukan aktivitas membaca yang notabenenya adalah perintah Allah SWT.

Saya berkali-kali tertampar oleh tangan yang lembut, tetapi bertenaga besar. Tangan itu seolah menyadarkan saya bahwa Indonesia belumlah maju. Masyarakat masih dengan mudah percaya pada berita hoax dan malah menyangkal berita yang jelas-jelas sudah ada pemaparan ilmiahnya. Selain itu, betapa cyber bullying marak terjadi, salah satunya diakibatkan salah persepsi atau literasi masyarakat kita rendah. Kita cenderung mengetik komentar tanpa membaca suatu postingan sampai habis, tanpa menyerapnya lebih dulu apa isi dari postingan tersebut.

Lanjut, saya menyambung bacaan.

Penyebab rendahnya minat membaca adalah :

1. Lemahnya kemampuan membaca pada anak.
2. Budaya masyarakat yang lebih senang mendengar dan berbicara daripada membaca.
3. Kecanduan teknologi untuk hal-hal yang tidak penting.
4. Kemauan masyarakat yang rendah untuk membaca.

Saya menangkap pada poin pertama mengarah ke kebiasaan yang sudah melekat erat, yang awal mulanya dibangun dari keluarga. Dari jurnal yang saya baca juga, para ahli menyatakan cinta buku yang berujung minat membaca biasanya lahir dari kebiasaan di rumah. Orang tua yang sedari dini sudah memperkenalkan anaknya dengan buku, besar kemungkinan kelak saat anaknya besar, ia akan memiliki minat baca yang tinggi. Kebiasaan yang tidak dibangun serta era globalisasi di mana ponsel sedang sangat tren, bahkan anak kecil pun mempunyai ponsel genggamnya sendiri. Padahal, untuk anak seumurannya, mereka belum terlalu membutuhkan benda tersebut. Kebiasaan buruk orang tua yang cenderung memberikan ponsel saat anaknya yang rewel juga semakin mengancam minat membaca anak di kemudian hari.

Dari situ saja, saya semakin mengerti, betapa pendidikan untuk calon orang tua sangatlah diperlukan, agar mereka tahu bagaimana caranya membentuk anak yang kelak mampu berpikir kritis dan mudah mengikuti perkembangan zaman ke arah yang positif, contohnya ponsel digunakan untuk memenuhi dahaganya akan pengetahuan.

Poin kedua, agaknya saya mengerti. Masyarakat kita terlalu sering mendengar katanya tanpa suatu kejelasan. Mereka mempunyai mata, mengapa tidak membaca sendiri seperti seseorang yang mereka gosipkan bersama teman-temannya. Maksud dari membaca yang saya katakan bukan membaca buku, tetapi membaca dalam artian menganalisanya sendiri. Bagaimana caranya masyarakat kita mampu menganalisa atau berpikir kritis? Ya, tentu saja dengan membaca.

Poin ketiga. Saya melihatnya sendiri. Anak-anak di desa saya hampir semuanya punya ponsel, tetapi sedikit yang mempunyai buku sebagai pelariannya di saat suntuk. Saya tidak mengerti dengan pola pikir orang tuanya yang membelikannya ponsel di usia yang seharusnya mereka masih bermain petak umpet. Pemakaian berlebih pada ponsel dapat menyebabkan kecanduan. Biasanya ditandai dengan kita yang sulit hidup tanpa ponsel. Bosan, larinya ke ponsel. Meskipun akhirnya hanya menggulir TikTok. Wah, saya tersindir.

Poin terakhir. Sudah jelas, kemauan yang rendah dan masyarakat yang cenderung masih menyepelekan buku, menjadi faktor utama dari semua faktor-faktor yang ada.

Saya tahu, harga buku kadang tidak bersahabat bagi kantong masyarakat berekonomi menengah ke bawah, tetapi saya percaya, hampir semuanya mempunyai ponsel. Pemerintah telah mengakali masalah tersebut dengan membuat suatu aplikasi perpustakaan digital—Ipusnas. Beragam buku fiksi dan non fiksi bertebaran.

Saat pemerintah telah memberikan sarana dan prasarana yang baik, sekarang, tinggal masyarakatnya yang turut andil. Percuma, dong, kalau pemerintah telah melakukan ini-itu tetap tidak ada respon yang positif dari masyarakatnya.

Cara mengatasi rendahnya minat baca di Indonesia.

1. Perubahan mental.
2. Peranan perpustakaan dalam budaya baca.

Saya menyimpulkan, perubahan mental sendiri artinya perubahan perilaku atau kebiasaan. Tadi, sudah disinggung peranan orang tua di rumah. Menumbuhkan minat baca sedari kecil sangat diperlukan. Untuk itu, sebagai generasi penerus, kita yang mesti mengubah pola pikir. Bahwa kalimat buku adalah jendela dunia bukan hanya kalimat penghias dinding, tetapi kalimat yang menyatakan fakta. Usia hidup manusia terbatas, sedangkan manusia diharuskan meng-upgrade ilmu pengetahuannya. Dengan budget yang sedikit, tidak mungkin kita berkeliling dunia demi mencari ilmu, cukup dengan membaca, kita bisa mendapatkan apa saja yang kita inginkan.

Sedangkan poin yang terakhir, saya teringat pernah mencuri dengar remaja yang mengaku kecewa dengan perpustakaan kota yang berisi buku-buku, maaf "kuno". Pada usia tersebut, tidaklah mengherankan mereka menginginkan sesuatu yang segar, bukan setumpuk buku tebal yang membosankan dengan kalimat yang menantang awan.

Nyatanya, mungkin ada beberapa perpustakaan yang tidak menunjang minat baca masyarakat kita. Sehingga, semangatnya yang telah membara, mendadak padam saat mata menyaksikan sederet buku yang tidak sesuai ekspektasi mereka.

Mungkin, solusi yang bisa ditawarkan adalah dengan membaca Ipusnas bagi kaum gratisan seperti saya.

Puas, saya tidak menyangka, jam telah menunjukkan pukul sebelah lewat dua menit, waktunya saya untuk tidur. Setidaknya, saya sudah mengetahui apa-apa saja yang menjadi penyebab minat membaca kita sangatlah rendah.

Di otak saya, terbesit pertanyaan, apakah minat membaca masyarakat Indonesia akan berubah? Apakah akhirnya masyarakat sadar, bahwa membaca bukan hanya dilakukan oleh anak-anak pintar?

Semoga saja begitu. []



19 November 2022
Diketik saat kepala mengepul usai presentasi

Semua yang Tertimbun dan TerlupakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang