14. Semoga

0 0 0
                                    

Tadi siang Neneng diajak Rosminah menonton acara. Di penghujung tahun, ada acara di desa mereka yang selalu diadakan setiap tahunnya.

Ngarot.

Semacam upacara untuk memulai masa cocok tanam. Sebagian besar, bahkan bisa dibilang hampir keseluruhan dari masyarakat di desa mereka memiliki matapencaharian petani atau buruh tani. Agar proses menanam nanti dimudahkan dan hasilnya bagus, mereka mengadakan adat yang memang sudah dilakukan turun-temurun.

Sebenarnya, Neneng bukan orang pribumi. Jadi, ia tidak begitu mafhum tentang adat istiadat di sana. Namun, Rosminah dengan senang hati menerangkan padanya.

"Neng, ayo nonton!"

Suatu ketika Rosminah menelepon, Neneng yang sehabis makan agak kekenyangan dan tepar di sofa sempat terlonjak menerima telepon itu.

"Tapi kita durung adus. Nggko, ya, adus dipit."

"Uwis, ora usah adus. Aku juga nggak mandi, kok, cuman cuci muka sama sikat gigi."

"Nggak mau! Kita adus dipit. Tungguin!"

Haram hukumnya jika hendak berpergian tidak mengguyur air ke seluruh tubuhnya bagi Neneng. Ia pikir, ia akan bertemu dengan banyak orang, ya ... walaupun ia tidak jadi sorotan, tapi setidaknya ia tidak malu karena bau atau tidak rapi.

Neneng selayaknya gadis kampung yang berekonomi menengah ke bawah. Rambut kusam dan susah diatur. Wajahnya tak tersentuh kosmetik, sebab ia tak punya uang untuk membeli. Tubuh jangkung yang sulit gemuk itu juga tidak terlalu menarik. Dari sana, ditarik kesimpulan Neneng tidak begitu cantik. Maka dari itu, Neneng berusaha jadi pribadi yang bersih dan rapi. Oh, jangan lupakan wangi.

Usai mandi koboi, yang sejujurnya bukan, sebab Neneng tidak bisa asal mandi, apalagi jika mau keluar seperti ini, Rosminah datang. Gadis tambun itu menunggu di ruang tamu.

Adik Neneng merangsek masuk kamar mandi sembari berteriak. "Yu, bature dika iku wis teka."

"Iyooo, suruh nunggu dulu gitu. Kita wis garep pragat."

"Ojo sue-sue!"

"Iyo! Rewel, ah!"

Kamar Neneng tepat di depan bersama ruang tamu. Saat ia lewat, Neneng melihat Rosminah sedang menunggunya. Gesit Neneng mengambil baju apa pun yang bisa ia pakai. Tertutup dan tidak mencolok.

Baju lengan panjang yang Neneng lapisi dengan kardigan belang-belang seperti nyamuk, serta celana longgar berwarna biru tua.

Sentuhan terakhir, Neneng menyamber kacamata minusnya.

Setelah izin dan menggondol seratus ribu, hasil dari pemberian saudara, Neneng bersama-sama dengan Rosminah ke jalan besar di depan gang. Pawai para pengantin cilik dan remaja yang sudah didandani menyusuri jalan aspal di depan. Masyarakat saling berdempetan di sepanjang jalan, bersama motor dan mobil yang tak mau mengalah. Satu lagi hal yang Neneng baru lihat.

Setiap Ngarot diadakan, Neneng jarang sekali menonton arak-arakannya. Ia lebih cenderung menontonnya malam hari, hanya untuk membeli dan melihat-lihat para pedagang di sepanjang jalan atau kalau mau, ia naik wahana semacam becak angkasa.

Rosminah mencari sepupunya yang ikut arak-arakan. Dengan tangan yang terseret-seret, Neneng mengikuti jejak Rosminah. Mereka menyelinap di antara kerumunan.

Sepupu Rosminah akhirnya tampak, berada di barisan agak depan. Neneng agak canggung, apakah ia turut serta mengawal pengantin ini di barisan atau menepi di seberang jalan. Namun, Rosminah menahannya.

Arak-arakan itu berhenti di balai desa. Acaranya belum selesai, sebab akan ada pertunjukan tari topeng dari para penarik cilik.

Neneng menonton penuh takjub. Semasa SMA dulu, ia pernah mengikuti sanggar tari di sekolahnya, tetapi karena tidak percaya diri dengan tubuhnya yang datar dan tidak luwes, Neneng berhenti.

Kini, ia mengagumi para penari kecil itu. Tangan mereka begitu luwes. Calon bibit-bibit unggul yang nantinya akan melanjutkan kebudayaan setempat.

Oh, iya, Neneng jadi teringat mata kuliahnya. Di tengah sesi presentasi, Neneng mendengar kelompok lain membawa tema kebudayaan.

Neneng bukan seorang apatis, ia sadar bahwa di sekitarnya perlahan-lahan kebudayaan setempat mulai lenyap. Bukan saja tari tradisionalnya, tapi dapat dilihat dari sikap kebersamaannya.

Di desa, saat ada tetangga hajatan, memang masih banyak ibu-ibu dan bapak-bapak yang berkumpul, rewang-rewang bahasanya. Namun, kalau di sekolah, yah ... Neneng malas membicarakannya.

Rewang-rewang hanya terjadi saat ujian. Alias menyontek sebagai bentuk gotong royong. Cih. Menyebalkan.

Neneng menyesal, sebab ia merasa bukan salah satu orang yang melestarikan budaya. Bahasa mungkin masih bisa, tetapi sejenis tari, atau makanan daerah, Neneng tidak jago.

Dan ia lega saat tunas-tunas di desanya masih menyukai hal-hal tradisional alih-alih terseret kebudayaan barat yang tengah menjamur.

Neneng tidak mempermasalahkan kesukaan orang. Jujur saja, ia bahkan malas mengoceh atau berceramah panjang lebar perihal kebudayaan lokal pada pecinta garis keras kebudayaan asing agar mereka turut andil melestarikan apa yang leluhur kita jaga. Ia pikir, mungkin saja mereka memiliki cara tersendiri untuk menjaga adat daerahnya.

Dan semoga saja beberapa tahun ke depan, kemeriahan adat di desanya tidak surut dan kebudayaan lain juga tidak hilang di telan waktu.

Semoga saja, anak-cucu mereka dapat merasakannya. Semoga. []





01 Januari 2023
Selamat tahun baru.

Semua yang Tertimbun dan TerlupakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang