Hidup tak berjalan semulus jalan tol. Bahkan jalan beraspal sekalipun masih ditemukan lubang-lubang seperti jerawat pada remaja puber. Sama halnya dengan hidup. Laki-laki itu sadar, dunia sedang mengujinya tak tanggung-tanggung. Ia tahan sekuat tenaga kegetiran yang bersemayam di dadanya.
Hidup tanpa orang tua dan miskin. Rai berpikir apakah ia makhluk Tuhan yang paling sengsara?
Namun, teman-temannya bilang ia harus bersyukur, sebab masih banyak di luaran sana orang-orang yang lebih tidak beruntung dari pada dirinya. Rai tidak suka ketika ia bercerita, lalu orang lain malah menyuruhnya untuk mengucap syukur. Maksudnya, ia hanya butuh didengarkan bukan pembanding atas kemalangan hidupnya.
Hal itu tak akan membuatnya lebih baik. Justru ia marah dan getir. Betapa orang lain mendoktrin cara bersyukur dengan melihat yang lebih rendah darinya.
Semingguan ini Rai menekan segala emosi yang bercampur dan semakin tidak bisa ia pahami emosi apa yang lebih menonjol. Ia sedih, tetapi juga marah sebab hidupnya tak seberuntung yang lain dan juga sedih karena ia tetap bertahan di dunia yang kadang suka melucu.
Hari Senin yang mendung, Rai biarkan ponselnya menyuarakan lagu kesukaannya. Penyanyi asal Jepang—Takayan dengan judul lagunya yang menguatkan di kala kesedihannya semakin menggelembung, membesar.
Who everyone want to die.
Seperti Rai.
Rai mula-mula merasa biasa saja. Lagu itu sering ia putar, jadi sedikit hambar. Iseng, karena Rai tidak mahir berbahasa Jepang, Rai lihat lirik lagu tersebut.
Tak apa, kamu bisa menangis seperti ingin mati.
Lirik yang mendobrak bendungan pada matanya. Rai lekas berlari ke kamar mandi. Ia nyalakan keran, air yang mengalir itu meredam tangisannya yang menggila.
Rai keluarkan semua air mata yang ia bendung. Awalnya tanpa suara, tetapi karena itu tidak juga melegakannya, maka Rai biarkan teriakan frustasinya bergema di kamar mandi.
Meskipun suaranya berakhir serak dan matanya akan membengkak, Rai sudah tak peduli. Ia hanya ingin mengeluarkan semuanya, tanpa terkecuali.
Persetan dengan teman-temannya yang nanti akan menertawakan Rai, melontarkan kalimat jahat bahwa ia tidaklah jantan. Peduli setan! Siapa pula yang mengukur kejantanan dengan menangis, sungguh ia membuat hidupnya semakin sengsara.
Rai menyadari, menangis bukanlah hal yang memalukan, itu adalah hak manusia, tanpa pandang bulu. Rai tidak menyangka bahwa setelah tangisannya reda, ia merasa lega. Seolah beban berat yang menghimpitnya kemarin, telah terangkat hanya dengan tangisan.
Cara mudah agar hidupnya tidak begitu sesak. Obat mujarab ketika dunia kembali melemparkan lelucon padanya.
"Rugi banget sama orang-orang yang nggak mau nangis karena dianggap banci." []
30 November 2022
Diketik sehabis ujian hari kedua
KAMU SEDANG MEMBACA
Semua yang Tertimbun dan Terlupakan
RandomRemeh-temeh. Tidak begitu penting. Mari buang dan biarkan orang-orang melupakannya! Tenggelam dalam kesibukan, ada beberapa orang yang tidak membiarkan hal-hal itu menjadi sampah. Bisa saja, apa yang orang lain buang itu adalah sesuatu yang menjadi...