02

32.7K 1.1K 29
                                    

...


Raka memuji tampilan tubuhnya yang terlihat dari cermin, rambut hitamnya lepek karena baru saja selesai olahraga.

Biasanya Bian, Sadewa juga bang Kai bakal ikutan olahraga jika di hari libur.

Tapi tidak dengan hari ini.

Bang Kai masih terlelap di kamarnya, Bian sibuk menonton drama biasanya di pagi hari, dan Sadewa sedang dapat tugas memasak bersama Dareen.

Raka melangkahkan kakinya keluar dari area gym, dengan wajah lelah pria itu menaiki tangga menuju kamarnya.

Belum juga menyentuh knop pintu, siluet temannya yang masih memakai kancut sambil menggendong si bungsu terlihat.

"Sini abang pegangin gelasnya."

Alvan mendongak, cengiran lucunya terumbar. Meletakan gelas berisi jus alpukat ke tangan Raka, dan kembali menenggelamkan diri di dada Bian.

Sabian dan Sadewa itu sepupu yang tiba tiba saja datang ke dalam rumah kost mereka, yang megang kendali rumah itu Bang Kai.

Karena dia pemilik kost.

Tapi, sebelum datangnya Sadewa yang cuek tapi menyeramkan dan Sabian yang cerah tapi menakutkan.

Banyak sekali preman yang sering memalak mereka, bahkan ada yang sampai berani berdiri di depan gerbang. Hanya untuk menunggu mereka keluar, dan memalak uang.

Sering sekali beberapa dari mereka memaksa masuk, meminta makan pada Dareen dengan kasar.

Bang Kai sudah mengadu pada ayahnya, tapi tiga hari kemudian preman itu datang kembali.

Semenjak datangnya Sadewa dengan tubuh bongsor yang tinggi, pemuda itu dengan penuh keberanian menantang para preman bersama sepupu pendeknya.

Jika pihak preman kalah maka sesuai perjanjian, tak ada lagi gangguan. Jika masih berani, maka Bian atau Sadewa akan turun tangan.

"Gue taruh nakas."

Raka menepuk bokong temannya setelah mengusak rambut Alvan.

"Duluan, mau mandi."

Setelahnya, Bian menidurkan tubuh Alvan di atas ranjangnya. Dirinya terduduk di bibir ranjang sambil menyesap jus perlahan.

Tangan kirinya menepuk nepuk kaki yang lebih muda.

"Aku mau mandi dulu, kalo mau tidur lagi. Duluan aja."

Bocah itu langsung terduduk, memeluk tubuh Bian dari belakang.

Remasan di dada membuat Bian tersentak. Alvan menumpukan kening di punggung yang sudah terasa lengket.

"Nen~?"

"Minta Dareen aja sana, atau gak minta Sadewa buat susu di dot."

"Nenen maunya."

Bian melepas pelukannya dengan paksa, berdiri berkacak pinggang dengan wajah mengeras.

"Abang belum mandi, kalo ada kuman kamu bisa sakit dek."

"Ng .."

"Ga usah mewek! Minta Dareen aja sana."

Setelah membentak adik yang paling muda, Bian mengambil handuk dan baju santai lengkap untuk pergi ke kamar mandi yang berada di lantai bawah.

Pintu di tutup.

Alvan memilin jemarinya, pipi bulat dengan ujung hidung yang memerah menandakan jika ia kesal sekaligus akan menangis.

Bocah itu memang sedari awal tinggal di kost sudah membawa dot di dalam tasnya, ibunya pun setiap bulan akan menengok.

Dan sebelum pulang, pasti wanita itu akan menyusui anaknya hingga tidur terlebih dahulu.

Satu pertanyaan yang terngiang di benak semua remaja yang tinggal di kost an.

"Kenapa Alvan mau tinggal di kost? Padahal emaknya rela ngasih tetenya buat di kenyot?"

Alvan turun dari ranjang.

Berjalan ke kamar samping, dengan pintu hitam kelam dengan beberapa sticker khas anak motor.

Tanpa mengetuk pintu, bocah itu langsung masuk dan berlari menghampiri si pemilik kamar yang masih tertidur.

Menaiki ranjang, dan menidurkan tubuhnya di dekat tembok.

Kedua lengannya terulur untuk memeluk leher Kai yang masih memejam, satu kakinya terangkat dan di taruh di atas paha yang lebih tua.

"Abang~ .."

Kai menggeram dan mengerang, kedua matanya menyipit.

Melihat sang adik bungsu ada di depannya, pria itu berbalik memeluk pinggang Alvan.

Mengecup dagu yang lebih kecil dan kembali memejam.

"Tidur lagi, masih malem."

"Ini menjelang siang, abang."




...

kost 69Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang