03

25.8K 963 19
                                    

...



Dareen mendengus. "Alvan bangun, waktunya makan siang."

Pemuda bermanik cokelat gelap yang kuyu itu menepuk nepuk pantat yang lebih muda, si pemilik kamar sudah bangun dan siap menyantap makanan di bawah.

"Ngg .., ngantuk."

Dareen mengangkat tubuh Alvan perlahan, menggendongnya dengan gaya koala agar lebih nyaman.

Sebelum menjauh, pintu hitam itu ia tutup rapat.

Menuruni tangga dengan perlahan. Setelah sampai di ruang tamu, dimana mereka akan makan bersama juga menonton.

Dareen menyerahkan tubuh Alvan ke pangkuan Sadewa. "Pangku, suapin."

Bian terkekeh melihat wajah sepupunya yang datar, ia menyodorkan piring biru. Biasanya Alvan suka makan di sana.

"Jangan kasar kasar, dewa." Raka menimpali di sambut anggukan dari Kai.

Sadewa mendengus, mendudukan tubuh Alvan agar menyamping dan mudah untuk di suapi.

Mengelus pipi bulat itu dengan lembut sampai manik bulatnya membuka.

"Makan siang."

Alvan merengek. "Nen."

"Iya, habis makan nanti di bikinin susu."

Alvan yang mendengar perkataan Raka terdiam, menerima suapan Sadewa dengan tenang.

Mereka sudah biasa makan siang di ruang tamu di sertai televisi yang menayangkan film apa yang akan mereka tonton.

Keenam pemuda di dalam kost yang besar dan terbilang cukup mahal dengan fasilitas terjamin, sudah seperti saudara kandung yang mempedulikan saudara lainnya.

Kai sebagai yang tertua. Di lanjut Sadewa, Dareen, Raka dan Bian, lalu Alvan si bontot.

Para tetangga yang kebanyakan pasangan suami istri yang nikah muda, juga selalu berinteraksi dengan mereka jika sore hari.

Biasanya Raka yang bertugas berbelanja sayur atau Bian.

Komplek perumahan mereka pun beberapa rumah di isi dengan pasangan LGBT, seperti rumah di samping kost an mereka.

Pasangan lesbian yang sering memberi kue atau cookies untuk Alvan, atau seorang perempuan tomboy yang tak menikah. Yang selalu memberi mainan untuk si bontot.

Memang, bontot kesayangan para warga.

Alvan menggeleng. Memegang dada Sadewa yang bidang, dengan wajah memelas ia mendongak. "Nen~ abang."

Sadewa membiarkan kausnya di angkat, pemuda itu sedikit meringis ketika kenyotan kuat di rasa di dada kiri.

Alvan masih menyamping di atas pangkuannya.

Satu tangan bocah itu memegang dada kanannya, seolah jika tak di pegang akan di ambil oleh orang lain.

"Mngg .."

Sadewa menyuap makanannya, menghirup helai rambut berbau melon yang harum.

Raka menyenderkan kepala di bahu yang paling tua, Kai berada tepat di samping kanannya.

"Bang, nenen juga dong~"

Kai mendelik jijik, nada jalang yang terdengar sangat menggelikan.

"Bian, bantu gue nyuci piring."

Yang di suruh mengangguk, membantu Dareen membereskan piring kotor.

Sebelum pergi, mereka berdua sempat mengecup pelipis Alvan yang sudah kembali memejamkan matanya.

Sadewa menutup kepala si bontot dengan kausnya, pemuda itu bangkit sambil menggendong Alvan yang tak mau melepaskan nenennya.

Kai terbahak bahak, wajah datar Sadewa di tambah ia sedang menyusui seorang anak. Benar benar komedi.

Bahkan Raka sudah tergelak berguling di lantai.

Kai menyudahkan tawanya ketika Sadewa sudah menaiki tangga. "Bro, main ps kuy?"

"Di kamar gue?"

"Yaiya atuh, kamar gue belum di rapihin. Jendelanya masih nutup, belum ganti udara."

"Najis, malesan banget si lu bang!"

"Bacot anda, beresin dulu mejanya."

Raka menggerutu sambil sesekali mendumal, tapi tangannya tetap merapihkan meja bekas mereka makan. Juga mengelap bekas makanan yang terjatuh.

"Yang bersih ya sayang." Kai terkekeh, mengganti channel televisi.

Sebelum menaruh lap di tangannya, Raka dengan cepat meremas dada Kai yang masih tergelak di atas sofa.

Dan langsung berlari menjauh sebelum lemparan bantal mengenainya.

"Dada abang empuk!"

"Bacot kamu sulastri!!!"




...

kost 69Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang