Bab 3

18 3 0
                                    

Happy Reading❤️

•••

"Bangun nak, ndak baik bangun keduluan matahari."

Kalimat itu membangunkankan Ajeng dari tidurnya. Ia menguap lebar dan menggeliat, membuat sendi sendinya bergelatukan.

"Sholat subuh dulu sana," ibu masuk ke kamar berbilik bambu anyam itu. Merapikan tempat tidur Ajeng dengan si pemilik yang sudah menuruti perintah ibunya.

Ajeng sampai di samping rumah, di sebuah sumur pompa alias sumur ongklek yang biasa digunakan orang-orang untuk mengambil air.

Klek klek klek!

Tuas sumur terus di ayun keatas kebawah hingga air keluar deras, ditampung di timba. Setelah dirasa cukup, Ajeng segera berwudhu karena langit yang semakin cerah.

Krek!

"Sugeng enjing Ajeng," (Selamat pagi Ajeng) ucap seseorang dirumah sebelah yang tadi membuka jendela.

Yang disapa berbalik kearah si empu, lalu balas tersenyum "Enjing Gemi," (Pagi Gemi) balasnya.

"Mau sholat dulu ya.." pamit Ajeng yang diacungi jempol lawan bicaranya.

Obor dan lampu minyak di rumah-rumah masih banyak yang menyala. Beberapa warga yang berprofesi sebagai pekebun dan petani sudah berangkat bersama cangkul dan caping di kepala.

Sendal karet yang di pakainya ia letakkan di tangga kecil yang terbuat dari kayu. Tangga yang hanya terdiri dari 3 anak tangga dan mengarah langsung ke teras rumah. Jadi rumahnya mirip model panggung yang tak terlalu tinggi.

Sampai di dalam, Ajeng segera beribadah. Ibunya sudah sibuk di dapur  yang tak jauh dari kamar dan ruang lain di rumah ini. Membuat aroma tumisan itu merebak kesegala arah, menembus dinding-dinding bambu.

"Ibu masak apa?"

Yang dipanggil segera mengalihkan pandang dari masakannya. Wanita itu tersenyum singkat kearah putrinya.

"Oseng tahu sama cambah. Tolong pindahin nasi di panci ke wakul (bakul) nduk ," dengan senang hati, Ajeng melaksankan perintah ibunya. Rasanya ia sudah terbiasa, tak lagi asing dengan pekerjaan ini.

"Nanti habis sarapan ibu nyuci ke sungai. Kamu dirumah saja ya, istirahat."

"Jangan ah bu.. Ajeng itu sudah sembuh. Cuman luka dikit tinggal nunggu kering kok. Nanti Ajeng ikut pokoknya," omel si gadis.

"Dibilangin kok mbantah terus! wes di rumah ae tah. Ojo kakean polah! (Jangan kebanyakan tingkah)"

"Ibuuukk.. ini udah nggak sakit loh," Ajeng menunjukkan beberapa luka baret di badannya "Malahan nanti badanku kaku, sakit semua kalo ndak dipake gerak," Ajeng masih terus memohon pada ibunya.

Sedangkan yang lebih tua hanya menghela napas panjang. Anaknya ini benar-benar keras kepala. Sudah tujuh belas tahun tapi masih seperti bocah "Yowes, tapi gausah ikut nyuci. Lungguh wae," (Duduk aja).

"Asikk!! Nanti Ajeng angkatin timba aja. Aku ajak Diyan, Lastri sama Endang. Sapa tau mereka juga mau barengan nyuci," jawab Ajeng ditengah keegiatannya.

"Begitu juga ndak papa," senyuman hangatnya seolah menjalar kehati dan membuat Ajeng ikut melengkungkan bibirnya.

Selesai dengan masak-memasak, ibu dan anak itu menyiapkan sarapan di meja makan. Sambil menunggu ibu membangunkan bapak, Ajeng membereskan dapur.

Diraihnya sapu lidi yang mulai aus memendek di pojok ruangan. Iya, sapu lidi karena dapur rumah masih beralaskan tanah. Kulit bawang dan sisa sayur ia kumpulkan untuk kemudian di masukkan ke karung.

Bring Me BackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang