Now we're so high, it can't rain
—
Tobias bersandar di samping pintu ruang ganti, menungguku.
Aku mengerang kecil karena ekspresi itu mengingatkanku pada pesta Faux, dan apa yang terjadi setelah pesta Faux sudah off limits. Kami sepakat untuk tidak pernah membahasnya lagi. Kupikir Tobias sudah tahu itu. Jadi, aku benar-benar muak saat Tobias memberengut seperti anak kecil, lalu menatapku seolah aku terlambat menjemput cowok itu dari sekolah.
Kuangkat daguku sedikit lebih tinggi, berusaha untuk tidak terintimidasi oleh tinggi badannya. "Apa?" tanyaku.
Cowok itu tampak ragu-ragu sejenak sebelum bertanya pelan, "Yang di sebelahmu tadi itu Faux?"
Percaya padaku, ini tidak akan berakhir bagus.
"Sebelum pembicaraan ini ke melebar mana-mana," ujarku, "aku mau ingetin kalau kamu sendiri yang milihin aku tempat di situ."
Selain main basket, dan barangkali mengutak-atik rumus fisika karena cowok itu nerd abis di luar lapangan, Tobias ternyata hobi cemberut.
"Oh," katanya.
"Yeah," kataku, sinis. "Oh."
Pilihan warna untuk tank top-ku hari ini adalah biru tua, warna kesukaan Tobias. Jadi, saat cowok itu menyapukan pandangannya padaku, aku sudah tahu kalau dia sudah melupakan game-nya melawan Scarce City tadi selama sesaat. Kubiarkan pikiran kotor cowok itu menjelajahi tubuhku jika memang itu yang dia perlukan untuk melupakan aku pernah duduk di sebelah Faux. Apa pun yang terjadi di antara mereka.
"Final-nya masih besok," kata Tobias.
"Yeah?" Kuraih lengannya dan kutarik diriku lebih dekat pada cowok itu. Aku agak ingin merasakan dipeluk centre ganteng.
"Yeah." Tobias mengangkat pinggangku, lalu menggendongku dengan tangan kosong. "Masih ada banyak waktu."
Lengan cowok itu menyusup dari ujung bawah tank top-ku, mendorong punggungku ke depan sampai nyaris tidak ada jarak yang tersisa.
"Kamu nggak boleh capek-capek, Toby," aku terkikik, memukul-mukul punggungnya selagi cowok itu membawaku ke dalam ruang ganti.
Kami terdampar di atas sofa yang berseberangan dengan sebuah meja kopi bundar. Di atas meja itu, aku melihat nama tim Tobias tercetak di atas selembar kertas berlaminasi yang direkatkan pada permukaan kaca.
Untuk waktu yang tidak terhitung, kami berciuman lagi.
"Ciuman keberuntungan," aku berbisik di bibirnya saat cowok itu terengah-engah menjauh. Tobias menyeringai tipis sebelum kembali menerjangku dengan kecupan-kecupan kecil dari sudut bibir hingga sedikit bagian di atas bra-ku yang mengintip dari balik tank top. "Stop!" aku tergelak. "Stop! Sebentar lagi semi-final-nya!"
"Oh ya?" Tobias setengah bertanya. Sibuk dengan mainan barunya. "Aku yang main."
Aku menampar pelan pipi cowok itu sebelum ada yang melihat.
"Jangan kalah," kuperingatkan dia.
Tobias pura-pura meringis. "Okay."
Cowok itu harus menyerahkan ciumannya karena sebentar kemudian Patrick keluar dari toilet. Pura-pura tidak tahu apa-apa.
♾
Mekanisme sistem memilih tim yang bertanding pertama untuk semi-final secara acak, dan nama yang keluar di layar LED adalah Daniel dan Tobias.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saints & Sinners
Lãng mạn❗️🔞❗️ just another fucked up story I write for aesthetics. You've been warned. Rated 18+ for explicit sexual contents. - Tahun terakhir Axelle di Basalt jadi berantakan karena cewek itu harus berurusan dengan pemain-pemain basket di By the Beach, l...