06. Da Day

10.7K 647 46
                                    

Semester ganjil di Basalt diawali dengan berita tentang turnamen three on three di By the Beach. Semua orang membicarakannya. Telingaku sakit mendengar hal yang sama digunjingkan terus-menerus, seolah orang-orang itu tidak memiliki kehidupannya sendiri, dan hanya menjadi patung jika tidak ada sesuatu yang terjadi di By the Beach.

Hari H turnamen, aku tiba agak terlambat. Aku menghabiskan dua jam di apartemen, berdandan dan mengeriting rambut. Rambutku sudah keriting di bagian bawah, tapi entah mengapa tidak pernah terlihat sekinclong cewek-cewek lain. Aku harus mengerahkan usaha ekstra untuk membuat rambutku tampak melengkung sempurna dan tidak awut-awutan saat diterpa angin. Begitu aku sampai, lapangan basket sudah dikelilingi oleh kerumunan. Aku bersiul. Sudah seperti konser saja. Aku optimis delapan puluh persen populasi kerumunan ini berasal dari Basalt.

Aku menuruni tangga pelan-pelan, menyelinap di antara lusinan ketiak dan kepala-kepala yang ingin menonton pertandingan. Tobias telah menyiapkan kursi untukku di dekat ring. Pro-nya, aku mendapat pemandangan lapangan dengan lebih jelas, dan lapangan yang lebih jelas berarti Tobias yang lebih jelas. Kontranya, jika bola keluar, kepalaku menjadi sasaran empuk.

"Permisi, permisi ...." Kursi yang telah Tobias siapkan untukku tidak tersentuh sama sekali. Aku meletakkan tasku lebih dulu, lalu bergeser pelan-pelan karena aku tidak mengenal siapa yang akan menjadi rekanku selama menonton pertandingan Tobias. Cowok di sebelahku mengenakan topi baseball merah dan kaus putih, tampak seperti raksasa di atas kursinya yang mungil. Aku merapatkan kaki, lalu menutupi pahaku dengan tas. Ini pertama kalinya aku menonton pertandingan basket secara serius. Aku merasa pusing oleh hingar-bingar di Rockingdown. Dentuman musik mengatasi bunyi ombak yang berdebur di pesisir. Tempat ini benar-benar adalah bentuk kemurah-hatian sebuah kelab malam.

Ada total delapan tim yang akan bertanding. Mereka semua berasal dari kota ini. Tim pertama yang bertanding adalah tim dari akademi melawan Instinct, lalu tim dari akademi lain melawan tim Gasher yang anggotanya berasal dari fakultas Hukum, dua tim yang latihan di Clubhouse, dan yang terakhir adalah Harley melawan tim Scarce City—akademi lain. Jadi, ada tiga tim dari Basalt yang akan bertanding: Instinct, Gasher, dan Harley. Masing-masing dari mereka akan melawan tim dari akademi: Legion, Constantine, dan kemudian Scarce City. Terakhir, dua tim dari Clubhouse akan memperebutkan slot di semi-final. Bukan masalah. Selama skalanya masih di sekitar kota ini, aku yakin Tobias dapat menanganinya. Aku bahkan masih yakin Tobias akan menang jika range-nya diperluas. Cowok itu bermain dengan talenta yang diberikan Tuhan padanya.

Karena Daniel yang akan bermain pertama, By the Beach sudah penuh sesak oleh penonton bahkan sebelum matahari terbenam. Euforia By the Beach melonjak saat DJ mengumumkan roster tim Daniel, sementara aku hanya memutar bola mata dan menyilangkan kaki. Hubunganku dengan Daniel resmi berakhir sejak cowok itu berusaha menggerayangiku di toilet wanita. Aku mendengus pelan begitu Daniel keluar dari ruang ganti. Rambutnya sudah dicukur rapi dengan potongan yang membuat cewek-cewek itu nyaris menghancurkan pita suara mereka. Aku menguap. Mem-bo-san-kan.

Daniel melihatku, tapi cowok itu hanya membuang pandang sekilas dan mendengus. Lagi, aku memutar bola mata. Aku tidak kemari untuk menontonnya, dan Daniel tahu itu. Aku memajukan tubuh, lalu mengatupkan tanganku di depan hidung. Alangkah baiknya aku berfokus menonton pertandingan supaya aku tidak pulang dengan otak kosong. Cowok yang mengajakku bermesraan adalah salah satu permain terbaik yang dimiliki kota ini. Aku ingin perhatianku menjadi kontribusi untuk pertandingan Tobias.

Jadi, aku terkejut setengah mati ketika pertandingan berakhir dan tim Daniel keluar sebagai pemenang, mengalahkan tim dari Akademi Legion. Kupikir rahangku sempat anjlok sebentar, tapi aku mengendalikan diri cepat-cepat dan menatap bingung tim Legion yang harus pulang lebih awal. Di kota asalku, pemain-pemain yang dilatih di akademi jauh lebih jago daripada mahasiswa atau anak-anak sekolah biasa. Aku tahu sejumlah pemain dari sekolah lamaku yang sekarang masuk tim nasional atau bermain untuk provinsi, dan mereka pernah menjadi bagian dari sebuah akademi. Lagi pula, setahuku Legion bukan akademi sembarangan.

Saints & SinnersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang