Senja yang bertahan

200 41 9
                                    

Senja

"Senja. "

"Topan. "

Kita diam. Saling memandang dalam bisu. Memperhatikan satu sama lain dengan seksama.

"Panggil aja Caca. "

"Panggil aja, Topan? "

Dan itu adalah pertemuan pertama kita. Pertemuan pertama yang tak pernah aku sangka akan membawa kita sampai sejauh ini.

"Saya terima nikah dan kawinnya Senja Arrabella binti Aziz dengan mas kawin tersebut dibayar, tunai! "

Di saat kalimat akad kamu ucapkan, aku telah resmi menjadi istrimu. Pendamping hidupmu.

"Aku akan berusaha untuk menjadi istri yang berbakti dan setia hanya kepada satu pria. Yaitu kamu, Topan Agung Kabiru. "

Disaat janji itu aku ucapkan. Dapat kulihat ada tatap penuh makna di matamu.

"Caa! Caca!!! Dasi gue mana? "

Dasar Topan! Kamu memang ceroboh. Mau sampai kapan kamu mengandalkan aku sekedar untuk mencari dasi yang selama ini selalu aku simpan di tempat yang sama.

"Di gantungan belakang pintu, Pan! Gitu aja pake nanya. Biasanya di situ juga. "

"Udah gue cari tapi gak ada, Ca. "

Benarkah? Jelas kamu berbohong. Meski berada di kamar yang berbeda, aku masih bisa melihatmu dari pantulan cermin di kamar.

Kamu tengah asyik berkutat dengan laptop. Bukannya sibuk mencari dasi. Dasar Topan.

"Kalau lo cari di laptop ya gak akan pernah ketemu, Pan. " Kataku seraya berjalan menghampiri mu.

Kamu hanya tersenyum. Tidak, bukan tersenyum. Tapi menarik ujung bibirmu seakan memandangku remeh.

"Gue bingung harus pilih yang mana. Biar lo aja yang milih. "

Sudah kuduga jawaban itu akan terucap darimu. Karena selama ini jawabanmu selalu sama.

Helaan nafas panjang mengiringi langkahku yang kini menghampiri kamu dengan membawa dasi yang telah kupilih sebelumnya.

"Nih... Yang ini cocok sama jas lo. "

Kamu menatapku seakan tak percaya. Kamu meragukan pilihan dasi yang telah aku berikan.

"Seriusan? Gak nabrak kan warnanya? "

Aku menyunggingkan senyumku. Tanpa izin darimu aku langsung memasangkan dasi itu padamu.

Sempat ku lihat kamu sedikit terkejut. Tapi aku tak peduli, respon seperti itu memang selalu kamu tunjukan setiap kali aku berada terlalu dekat denganmu.

Karena bagaimanapun juga, kamu selalu mengingatkan aku. Mengingatkan aku jika yang resmi diantara kita hanyalah status pernikahannya, bukan hubungan yang terjalin diantara kita.

Kita masih asing. Sama dengan asing tatapmu padaku.

Kita masih sama seperti kita yang dulu. Kita hanya saling mengenal karena dia. Kita bisa bertemu karena dia. Bahkan kita menikah karena dia.

"Menurut lo, Lala suka gak sama potongan rambut gue yang sekarang? "

Bahkan namanya masih sering kamu sebut. Meski raganya sudah tak lagi bersama kita, hatinya jelas berada dalam hatimu.

"Sukalah... Lala suka apa yang gue suka. Gue suka gaya rambut lo, artinya dia juga bakal suka. " Jawabku dengan senyuman palsu.

"Syukur kalau dia juga suka. " Ucapmu.

Kulihat senyum simpul tergambar di wajahmu. Tapi aku sadar itu bukan karena aku. Senyum itu timbul karena kamu mengingat dia. Sosok dewi yang menguasai hatimu. Sosok dewi yang berhasil menaklukan Topan.

Ilana Kemala. Sosok yang masih menjadi pemegang kunci hatimu.

Sosok yang telah lama pergi meninggalkan dunia fana ini.

Sosok yang membuatmu hilang kendali. Kehilangan dirimu yang asli. Kehilangan segalanya, seakan kamu kehilangan separuh jiwamu.

"Kalau gitu gue pamit. "

Aku mengangguk sebagai jawaban. Senyum palsu masih ku tampilkan untukmu.

Karena masih mengingatkan peran ku yang harus menjadi istrimu. Aku memberanikan diri untuk menarik lenganmu, mengecup punggung tanganmu yang hanya kau respon dengan tatapan itu.

Tatapan yang selalu membuatku berpikir jika kamu menganggap ku menjijikkan.

"Hati-hati. " Kamu hanya membalasnya dengan sebuah anggukan.

Setelahnya aku kembali sendiri. Menikmati sepi yang semakin lama akan membunuhku. Menenggelamkan aku dalam kumpulan rasa yang berkecamuk.

Lala, dia sosok yang harus bertanggung jawab untuk ini semua. Haruskah aku meminta dia untuk mengembalikan senyumanmu, Topan?

.....

Topan

Bagaimana kabarmu sekarang, La?

Tenang?

Aku harap kamu bahagia di sana.

Hari ini seperti biasa. Aku mengunjungi kamu sebelum pergi bekerja.

Jujur, La. Kamu tega, kamu tega ninggalin aku secepat ini. Bahkan sebelum janji suci terucap, sebelum aku berhasil menjabat lengan ayahmu di pelaminan.

Kenapa, La?

Kenapa harus kamu yang pergi?

Kenapa kamu milih pergi dan ninggalin aku buat Senja. Kenapa, La?

Kamu taukan perasaan ku sama dia gak akan pernah sama kayak perasaan aku ke kamu.

Kamu taukan rasa cinta aku ke kamu itu gak pernah mati. Kenapa, La?

Masih banyak pertanyaan kenapa yang pengen aku tanya sama kamu. Tapi rasanya percuma, karena selamanya pertanyaan itu gak akan pernah terjawab.

Kamu tega ninggalin aku sama Senja. Perempuan yang sampai kapanpun gak akan bisa nerima cinta dari aku.

Kenapa kamu gak bawa aku pergi sama kamu?

Apa istimewanya Senja. Sampai-sampai kamu relain aku buat dia. Sampai-sampai kamu mau aku sama dia.

"Topanh."

"Ya? Yaa... Kenapa sayang? Kenapa? Kamu pasti kuat aku yakin! "

Malam itu di ruangan serba putih dengan aroma obat menyengat. Ruangan yang selama ini aku benci. Kenapa aku harus kembali kesini? Dan kenapa lagi-lagi harus orang tersayang ku yang terbaring di ranjangnya?

"Akuh—  titip Sen—ja. Jag–aa diaa. "

Nafas yang terengah itu membuat aku risih. Kenapa kamu seperti ini? Kenapa kamu terlihat lemah?

"Maksud kamu apa sih? Kamu kuat sayang... Aku yakin. Dokter bilang semua akan baik-baik aja. "

Tapi kamu hanya tersenyum. Senyum manis yang malah terasa pahit. Karena itu adalah senyuman terakhir yang aku bisa lihat darimu.

Kenangan malam itu terus menghantui aku, La. Kalau bukan karena kamu, aku gak akan pernah mau jadiin Senja sebagai istriku.

Dia gak pantas. Bukan! Lebih tepatnya dia gak berhak. Cuman kamu yang punya hak itu.

Kalau bukan karena kamu yang membuat aku terpaksa berjanji. Senja gak akan pernah menjadi Nyonya Topan.

"Nikahin Senja. Demi aku. Demi kamu. Demi kita semua. "

Kalimat darimu yang sampai kapanpun gak akan pernah bisa aku pahami.

Topan kala Senja | VJoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang