Senja yang redup

145 40 7
                                    

Senja

Aku hanya bisa gigit jari. Disaat melihat kamu pulang basah kuyup, menggigil, dan kedinginan.

Jika aku tak tahu diri, mungkin aku sudah memeluk tubuhmu saat itu juga. Tapi aku tak berani. Aku tak seberani itu. Aku terlalu penakut.

"Kok bisa basah? Mobil lo mana? "

Kamu tak menjawab. Kamu memilih untuk melenggang pergi menuju kamarmu. Kemudian entah dengan sengaja atau tidak, tapi kamu membanting pintu tepat di depan wajahku.

Ada apa lagi denganmu?

Apa ada sesuatu yang mengganggumu?

Apa ada seseorang yang membuatmu tak nyaman?

Haha. Pertanyaan itu adalah pertanyaan terbodoh yang pernah terpikirkan olehku. Jelas aku yang mengganggumu. Jelas aku yang membuatmu tak nyaman.

Tapi aku memilih untuk buta dan tak melihatnya. Aku memilih untuk bisu dan tak mendengar nya. Aku memilih untuk mati dan tak merasakan nya.

Karena hafal dengan kebiasaanmu. Setelah keluar dari kamar kamu akan melenggang kearah dapur. Hendak membuat secangkir teh tawar hangat.

Sudah ku suguhkan. Kamu tak perlu lagi membuatnya.

Kamu hanya melirik kearah ku kemudian mengangguk.

"Thanks. " Kalimat itu cukup untuk membuat usahaku terbayar.

"Btw... Lo belum jawab pertanyaan gue, To. Lo kenapa basah-basahan tadi? Terus mobil lo mana? Lo jalan? "

Sepertinya pertanyaan ku terlalu banyak dan tak terkontrol. Sampai-sampai membuat kamu menghela nafas panjang.

Aku tahu kamu lelah setelah seharian bekerja. Tapi apakah menjawab pertanyaan dariku juga membuatmu lelah?

Dapat kulihat dengan jelas kamu sempat menghela nafas seraya memutar mata malas. Aku tahu kamu lelah denganku, tapi kumohon bertahanlah dan jawab pertanyaan ku.

"Tadi mesin mobil ngadat. Mau gak mau gue harus benerin sambil hujan-hujanan. "

Aku tak bisa menutupi kekhawatiran ku. Aku melangkah hendak mendekatimu. Hendak memastikan jika kamu dalam keadaan baik dan tidak demam.

Tapi kamu justru berjalan mundur. Menghindar dariku dan membuat jarak di antara kita semakin jauh.

"Lo gak papa? Ngerasa gak enak badan, gak? "

Kamu menjawabnya dengan singkat, hanya dengan menggelengkan kepala dan senyum palsu. Itu sudah lebih dari cukup untukku.

Disaat kamu hendak melenggang pergi kembali menuju kamar. Mau tak mau aku harus mencekal tanganmu.

Membuat kamu menatapku dengan menyergit.

"Tadi Juan datang, dia bilang berkas yang lo mau udah bisa diambil besok. "

Kamu mengangguk, kemudian melepaskan tanganmu dari genggamanku.

"Okey... Thanks ya. " Jawabmu singkat dan kembali masuk kedalam kamar.

Aku hanya bisa tersenyum getir. Rasanya berat, bersandiwara dan bersikap seolah semua baik-baik saja.

Ini semua palsu, Topan! Kamu membuat aku terjebak di antara kamu dan Ilana.

.....

Juan

Hampir setahun, Ca. Kamu terlihat seperti ini.

Antara hidup dan mati. Tanpa semangat hidup, tanpa senyum manismu yang hangat.

Aku rindu kamu yang dulu, Ca. Rindu kamu yang masih bisa tersenyum bahagia disaat sedih ataupun kecewa.

Seberat apa sakit dan beban yang kamu tanggung, Ca?

Apa Topan setega itu sampai berani membuat kamu tersiksa?

Hari ini aku datang lagi. Temui kamu yang selalu tersenyum palsu di hadapan aku dan Topan.

Teh manis yang kamu sajikan terasa hambar. Entah karena kurang gulanya, entah karena kamu yang sudah kehilangan harapan sampai mempengaruhi rasa dari minuman yang kamu sajikan.

Wajah kamu pucat, senyum kamu getir dan warna matamu tak sebersinar dulu. Ada apa, Ca? Cerita padaku.

"Ca..., Are you okey? " Tanyaku yang hanya kamu balas anggukan dan senyum palsu.

Apa kamu tidak lelah, Ca? Kamu hidup penuh kepalsuan.

"Gimana, an? Berkasnya udah ada? "

Itu dia. Si bedebah yang membuat kamu jadi seperti ini.

"Yow! Nih sesuai sama yang lo mau. "

Topan bedebah itu tersenyum padaku, membuatku terpaksa untuk membalas senyumnya. Jujur Ca, sebenarnya aku tak sudi membalas senyumnya. Karena dia yang membuat senyummu redup tak seperti dulu.

"Itu berkas apa? " Tanya kamu.

Aku hanya tersenyum. Membiarkan Topan untuk menjawab pertanyaan mu.

"Ini semua berkas yang berkaitan sama kematian Lala. "

Aku lihat raut wajahmu berubah. Tegang dan sedikit sulit aku artikan. Ada apa, Ca?

"Tapi, To. Lala kan kecelakaan, dia ketabrak mobi—"

"Shut up! Dia gak pernah kecelakaan. Dia itu dibunuh, Ca! "

Topan bajingan! Kalau kamu gak ada disini Ca, aku sudah pasti bakal hajar dia mati-matian.

Siapa dia sampai berani menyuruh kamu diam. Apa hari-harimu berjalan seperti ini, Ca?

"Di bunuh apa si maksudnya? Udah jelas dia itu ketabrak mobil, To! Sebelum meninggal di rumah sakit, Lala sendiri yang bilang kalau dia emang ketabrak. Bahkan polisi juga bilang kalau itu emang murni kecelakaan! "

"Lo gak pernah ngerti, Ca! Lala gak kecelakaan... Dia gak kecelakaan! "

Ingin aku membela kamu, Ca. Tapi aku tak bisa. Aku harus mempertahankan amarahku, jangan sampai meledak dan membuat kamu tak nyaman.

"Itu tabrak lari, To! Lo tau sendiri... "

"Justru karena itu tabrak lari, gue mau cari siapa pelakunya! Gue juga pengen tau apa yang Lala lakuin malem itu! "

Perdebatan diantara kamu dan Topan semakin sengit. Urat-urat wajah Topan terlihat menonjol, pertanda dia tengah menahan amarahnya padamu. Siapa dia sampai-sampai memiliki hak untuk marah padamu, Ca?

"Terserah lo, To! Gue udah capek... Gue kira lo udah ikhlasin Lala. Tapi kenapa sampai sekarang lo masih mikirin dia? Lala udah pergi setahun lalu, To... Ikhlasin dia! "

"Gak akan pernah bisa, Ca! Sampai kapanpun Lala tetep hidup di hati gue! Dia gak akan pernah mati! Dan selama orang yang nabrak dia belum ketangkep, gue gak akan pernah berhenti! Udah ayo, Juan. Masuk kamar gue, Caca bakal tersinggung kalau kita bahas tentang Lala. "

Jujur, Ca. Aku sebenarnya masih ingin tetap diam, menemani kamu yang saat ini mulai memandangi Topan dengan tatapan yang berkaca-kaca.

Sungguh, Ca. Hatiku sakit lihat kamu seperti itu. Ingin aku peluk kamu dengan erat. Tapi sekarang aku belum punya hak untuk itu.

Maaf Ca...

Topan kala Senja | VJoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang