15 [END]

463 34 5
                                    

Pagi yang dingin segera membuka lembar-lembar kesadaran yang ditemuinya. Matahari belum juga muncul saat Seulgi menjadi orang yang pertama kali bangun. Rasa mual di perutnya lagi-lagi membuatnya harus berlarian ke kamar mandi. Tidak sempat menemukan ibu mertuanya yang entah sejak kapan sudah membuka mata. Bersandar di ranjangnya dengan hanya menyaksikan putra dan menantunya terlelap dalam damai.

Tak lama, Jimin yang merasa kehilangan, pada akhirnya selalu ikut terbangun. Mengerjab beberapa kali sebelum bangkit dari posisi. Pria itu ingin mengikuti Seulgi yang bergegas ke kamar mandi, tapi lebih dahulu pria itu dikejutkan dengan kesadaran ibunya.

"Ibu─" gumamnya tanpa sadar. Kakinya melenggang cepat untuk menggapai. Hendak memeluk sosok ibunya karena terlalu bahagia.

Namun sang ibu malah sibuk mengusirnya pergi. Melepaskan pelukannya dengan segera sampai Jimin kebingungan. "Seulgi. Kau harus melihat Seulgi!" ujar ibunya panik.

Jimin yang kebingungan lantas teringat kembali dengan Seulgi yang menghilang. Kakinya kini berlarian ke dalam kamar mandi. Tidak lupa merogoh saku untuk menelpon kakaknya, memberitahukan saudara perempuannya itu bahwa ibu mereka sudah bangun.

Penampilan Jimin yang berantakan kemudian menemukan mual Seulgi yang tidak tertahankan. Dan seperti biasa, Jimin akan menemani Seulgi hingga selesai. Menjaganya agar tidak terjatuh, membantunya merapikan diri, sampai siap menuntunnya keluar dari sana.

"Astaga, ini memalukan!" tutur Seulgi mengusap bulir-bulir air yang membasahi dagunya. Sesekali ia menyugar surainya yang coklat sambil bersandar pada dinding. Tidak memperdulikan Jimin yang mulai khawatir padanya. Menunggu dengan sabar di sampingnya, hingga semuanya terkendali.

"Apanya?" tidak mengerti Jimin.

Seulgi merengek ingin menangis. Wajahnya tidak berhenti ia tutupi dengan telapak tangan. Jimin sendiri memahami bagaimana kondisinya yang menjadi lebih sering memperturutkan emosi. Membuatnya gemar membesar-besarkan masalah sederhana yang ia ketahui sendiri akan menjadi kekanak-kanakan ketika ia coba memikirkannya. "Ibu melihat kita tertidur di sofa."

Jimin menyernyit. Untuk beberapa saat otaknya mulai bekerja keras. Rupanya ia sama sekali tidak memahami mengapa Seulgi tiba-tiba merasa sangat malu dengan ibunya. "Memangnya kenapa? Kita sering melakukannya."

Tapi nyatanya Seulgi tidak pernah setuju tentang itu. Sebab ia hidup dengan selalu mengedepankan kata 'image' dibandingkan dengan rasionalitas sikap.

"Ini memalukan, Jimin," tuturnya masih bersikeras. Masih menolak untuk pergi keluar menemui sang ibu mertua.

"Tidak, Seul. Ini tidak memalukan." Jimin mengambil lengan-lengan Seulgi yang menutupi wajah pucat itu. Berusaha menenangkannya meski ia sendiri diluputi khawatir.

"Kau tidak merasa pusing? Atau kau mau mendapatkan morning kiss-mu?"

Seulgi memijit keningnya sebentar, merasa semakin frustasi mendengarnya. Wanita itu kembali merengut, kalau bisa ia ingin segera memukul kepala Jimin yang kelebihan bodoh itu. Bagaimana mungkin dalam situasi begini suaminya itu menawarkan ide sinting sekelas morning kiss?

Namun jauh dari perkiraan Jimin, Seulgi justru melakukan hal yang sebaliknya. Setelah ia mendapatkan cubitan di pinggang yang sangat menyakitkan, Jimin sama sekali tidak sempat mengeluh sakit.

"Aku sedang tidak ingin mendapatkannya, tapi kurasa tidak masalah."

Dengan cepat Seulgi menarik rahang Jimin mendekat padanya. Mencium pria itu secepat mungkin. Sedangkan Jimin balas memeluk pinggangnya, membalas menciumnya tak kalah tergesa.

Mereka akhirnya disibukkan dengan kegiatan pagi mereka. Sebuah rutinitas sederhana yang begitu terburu-buru sebelum pada akhirnya pintu kamar mandi itu terbuka. Menyisakan sosok Jihyun yang hampir menggelindingkan kedua bola mata indahnya ke atas lantai.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 11, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

White Marriage || seulmin•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang