5

252 39 14
                                    

Baru membuka pintu, Seulgi sudah berlarian mengitari seisi vila yang akan mereka tempati. Bangunan dua lantai itu bercat putih tulang, cukup minimalis untuk ditempatkan di tepian. Sebagian jendela besarnya menghadap langsung ke laut. Termasuk dinding kaca di kamar utama. Balkon kamar menghadap timur, akan sangat pas untuk menjemput sunrise saat membuka mata. Sedangkan jendela besar di ruang tengah di set untuk kilas sunset di barat.

Debur ombak dan suara burung camar kemudian menghias sunset di bawah langit yang begitu merah. Seulgi pun keluar menjemput sorenya lewat halaman belakang. Mengintip karang-karang di tepian laut Jeju sampai lupa membantu Jimin menangani koper-koper yang mereka bawa.

"Jimin, apa aku boleh ke pantainya?"

Melihat pancaran bahagia Seulgi yang meletup-letup, Jimin tidak mungkin tega untuk merusak. Terlebih ini adalah kali pertama Seulgi berkunjung ke Jeju, jadi biarkan saja isteri nya itu senang selama dua hari kedepan.

"Tentu."

Mendengar itu, Seulgi bertambah riang menatapnya. "Aku akan membereskan barang-barangku nanti," tuturnya buru-buru. Rambutnya yang begitu coklat kembali meliuk-liuk ketika berlarian ke arah pintu. Menjemput hamparan ombak yang terasa sangat dekat di ujung sana.

"Jangan terlalu jauh. Sebentar lagi gelap," pesan Jimin sedikit berteriak ketika pintu belum tertutup. Entah Seulgi akan mendengarnya atau tidak, yang jelas ia harus melakukan benah-benah sebelum pengurus vila datang menyiapkan makan malam.

Meletakkan koper-kopernya, Jimin kembali tertekan dengan jumlah kamar yang ada disana. Ia hanya menemukan satu yang besar dan tidak punya yang lainnya, kecuali sofa di depan televisi kalau ia memasukkannya ke dalam hitungan. Setengah dari kamar itu berdinding kaca dan ranjangnya begitu besar seperti kebanyakan. Tidak akan ada privasi, bahkan kamar mandi untuk bathup pun tidak memiliki pintu.

Jimin menepuk jidatnya ketika menemukan semua itu. Ia tak lupa menyingkirkan semua kelopak bunga yang ada di kamar mandi, lalu segera mematikan lilin-lilin beraroma di dekat wastafel. Ini terlalu berlebihan baginya, dan Jimin bisa bertaruh jika Seulgi akan lebih tercengang dengan semua ini.

Mendapati ponselnya memekik di saku, Jimin segera melepaskan jaketnya. Mengambil ponselnya disana, lalu melempar jaketnya ke kursi. Ia mungkin mulai menemukan kemasalannya. Karena sungguh, ibunya tetap menerrornya bahkan ketika ia benar-benar sudah menikah.

"Kita sudah sampai," lapornya tanpa babibu. Sedangkan matanya masih mengawasi Seulgi dari jendela. Berharap isterinya itu tidak menghilang kemana-mana bahkan saat ia lengah sekalipun.

"Dimana Seulgi? Apa dia baik-baik saja?" tanya ibunya begitu khawatir di seberang sana. Ya, naluri seorang ibu. Mana ada ibu yang bisa tenang membiarkan anak dan menantu kesayangannya pergi jauh dari rumah.

Mengambil duduk, Jimin memandangi sekali lagi bayangan Seulgi yang sibuk bermain ombak. Sesekali wanita itu terlihat mengarahkan kamera ponselnya untuk menangkap pemandangan pantai. Seorang diri saja Seulgi sudah nampak begitu bahagia. Bagaimana jika ia ditemani Wendy juga? Mungkin dia tidak akan pernah mau pulang.

"Dia baik. Ibu tidak perlu khawatir."

Barulah ibunya bisa bernafas lega. "Ingat Jimin, kau harus bersikap baik padanya. Perlakukan dia seperti seseorang yang berharga. Jangan kasar padanya─"

Jimin menaikkan salah satu alisnya. Ia mungkin begitu paham dengan ibunya yang mulai menyayangi Seulgi dari pada dirinya. Tapi mendengar pesan seperti itu bukankah akan sangat berlebihan? Mau bagaimanapun Seulgi itu sudah dewasa, sudah bisa mengurusi urusannya sendiri. Jadi, ya─tidak perlu dimanja seperti anak-anak. Lagipula Jimin bukan seorang pengasuh anak.

"Ibu, dia itu bukan anak kecil lagi. Dia bisa mengurus dirinya sendiri."

Tapi yang lebih mengejutkan ibunya itu tidak mau menerima pendapatnya. Malah sempat meresponnya dengan cukup berlebihan. "Tck, bukan itu maksud ibu. Intinya, kau tidak boleh kasar padanya."

White Marriage || seulmin•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang