1

592 60 9
                                    

Orang bilang, hidup itu tentang menemukan. Menemukan arti hidup, menemukan kebahagiaan dan juga menemukan akhir dari pelabuhan cinta. Tapi nyatanya, di dalam buku malah bilang, cinta itu rumit, pengganggu sekaligus penyakit. Lalu apa salahnya jika Jimin menyimpulkan bahwa menemukan cinta mungkin tidak harus ada dalam tiga aspek kehidupannya.

Kalau dunia ingin generasi dari cinta manusia, Jimin sudah yakin kalau perkembangan global sudah terlalu bising untuk berceloteh 'itu tidak penting'. Karena pada kenyataannya dunia semakin sempit, lahan pekerjaan semakin penuh, dan kalau manusia tumbuh kembali di suatu tempat, dimana harusnya pemerintah menempatkan mereka sebagai rasa kepedulian?

Singkatnya, dunia tidak pernah peduli pada seseorang yang berjuang di suatu tempat.

Jimin mungkin si kutu buku, penyuka hal yang realistis, tapi kadang tidak mampu berpikir rumit. Pria itu mungkin tidak percaya cinta. Dan ia rasa, ia tidak akan punya sedikit hati untuk mencinta.

Begitulah singkat pria bersurai hitam itu terlahir. Terlahir di tengah keluarga yang selalu mendorongnya untuk segera menemukan tiga aspek kehidupan, naik ke altar, punya anak, lalu ibunya begitu gencar mencarikannya seseorang yang cocok─atau mungkin tidak─karena Jimin tidak pernah suka orang asing.

Pagi ini Jimin tersesat dalam hijaunya pepohonan yang rimbun, taman bunga yang harumnya menusuk paru-paru dan jangan lupakan warna-warni bunga yang mendominasi sepanjang halaman. Semakin muak dengan alunan musik yang masih mendengung mengantar kantuk. Dari pada tidur, akan lebih baik baginya untuk menjauh dari pikiran para penghayal. Terlebih ibunya yang mungkin sudah sangat pusing mencari kekosongan kursinya.

Orang menyebutnya pesta pernikahan. Katanya pesta, tapi yang bahagia adalah penontonnya. Lihat bagaimana kantuk sang kakak sudah digenggam pasangannya. Dia sepertinya akan mati sebentar lagi dengan kantung mata yang untungnya bisa tertutupi dengan riasan tebal.

Singkatnya, pernikahan itu rumit sekali.

"Kau kabur karena tidak punya gandengan?" Sosok wanita dengan dress bermotif floral selutut tampak santai duduk di seberang kolam air mancur. Sedikit tidak peduli, ia begitu menikmati bagaimana kakinya berendam di dalam air. Senyumnya pun terpatri saat isi gelasnya bergoyang menyapa. "Atau kau bosan ditanyai 'mengapa tidak kau saja yang menikah'?"

Jimin menatapnya dengan penuh ekspresi datar. Sedikit mengapresiasi pertanyaan si wanita yang begitu tepat sasaran─menggambarkan kondisinya yang malang. Tapi entah mengapa ia langsung memutuskan untuk diam di sana, dari pada menghidupkan mesin mobil di pelantara parkir yang sudah tampak begitu dekat.

"Ingin bergabung?" ajaknya santai, sambil meminum isi gelasnya.

"Kau mabuk?" tanya Jimin yang masih tidak bergerak dari posisi. Sibuk menatap arloji, sesekali memperkirakan sendiri kapan pesta ini akan berakhir. Memangnya sejak kapan kami terlihat akrab?

"Oh ayolah, Park Jimin. Setidaknya kau harus sedikit menikmati. Mungkin ada sedikit yang tidak suka pesta pernikahan. Tapi paling tidak, kau harus menemukan hal yang kau sukai di acara merepotkan ini," kekeh wanita itu menyugar surainya. Sebut saja tetangga sebelah rumahnya itu tengah bosan melarikan diri dari kejaran orang kaya di dalam sana.

Jimin menatapnya dengan malas, tapi entah mengapa ia bisa berminat untuk duduk di sampingnya. "Kakakmu pasti sibuk mencarimu."

"Oh, itu jauh lebih baik dari pada ibumu." Wanita bersurai coklat itu menadahkan gelas kosongnya pada air yang terjatuh. Menunggu hingga air mancur memenuhi isi gelasnya, lalu menumpahkannya dan berulang kali mengisi gelasnya tanpa bosan. "Aku menerima ribuan pertanyaan konyol akhir-akhir ini. Kapan kau lulus? Kapan kau akan bekerja? Kapan kau punya kekasih? Kapan kau akan menikah? Dan kapan kau akan punya anak?"

White Marriage || seulmin•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang