2

280 46 7
                                    

Tepat pukul sepuluh malam, akhirnya Seulgi keluar dari pintu kediaman Jimin. Tubuhnya pegal, ia bahkan ditahan dengan segelintir alasan bibi Park demi mendekatkannya dengan Jimin. Namun setelah semua hal berlalu ia hanya merasakan kekosongan yang hebat di seluruh ruang otaknya.

"Kau menyukaiku?" tanya Seulgi ketika ia sampai di pagar depan rumahnya yang cukup gelap. Dan Jimin dengan baik hati mengantarnya keluar. Itupun karena ibunya terlalu cerewet untuk memerintahkannya. Padahal semua tetangga mereka tahu benar kalau Jimin dan Seulgi tidak pernah sedekat ini untuk saling antar. Bahkan semut di pagar Seulgi pun mungkin─kompak dengannya─tidak akan sudi pindah ke tanah keluarga Park sekalipun sarangnya rusak.

Singkatnya, Jimin dan Seulgi itu tidak seperti tetangga yang kebanyakan orang pikir. Apa jadinya kalau semua orang tahu kalau Seulgi tiba-tiba menikah dengan Jimin? Bisa-bisa tetangganya bergosip ia hamil di luar nikah kalau benar.

"Tentu saja tidak," jawab Jimin membuyarkan keributan di kepalanya. Dan Seulgi akhirnya bernafas lega soal itu. Sungguh ia tidak boleh bertemu dengan orang yang tidak tepat lagi kali ini. Tidak boleh!

Seulgi berbalik menatap Jimin yang lagi-lagi sedatar aspal di bawah kakinya. Pria itu sepertinya sudah kehilangan muka. Dan walaupun itu lucu bagi Seulgi, entah bagaimana ia tidak bisa menertawainya seperti saat ia mendapati Jimin terpeleset di halaman depan rumahnya waktu itu. "Lalu kenapa kau mau menikah denganku?"

Dan mudah saja jawabannya. "Ibuku ingin aku menikah."

"Hanya soal itu?" selidik Seulgi masih dengan tatapan tidak percaya.

Jimin menyisir surainya yang kusut. Ia awalnya sudah cukup putus asa dengan perjodohan ibunya. Lalu ditambah dengan ia yang menggali lubangnya sendiri. Jimin benar-benar ingin bunuh diri saja secepatnya. "Percayalah, akupun cukup frustasi memikirkannya."

"Kau tahu, menikah tidak sesimpel itu. Lagi pula kita tidak dekat. Kita pun tidak saling mencintai. Bagaimana bisa kita─"

"Aku bisa memberikan apapun jika kau mau menikah denganku," potong Jimin terlihat begitu serius di matanya. Dan tidak ada yang kurang dari sorotnya. Terlalu mantap jika ditelusuri untuk sekedar mencari kebohongan.

"Ya Tuhan, kepalaku sakit sekali." Seulgi mengeluh memegangi kepalanya sendiri. Ia bahkan tidak kunjung memasuki pagarnya yang terbuka hanya karena terlalu shock akan semua ini. "Menikah bukan hal seperti itu. Tidak ada yang mau menikah karena alasan keuntungan."

Tapi Jimin meyakinkannya. Entah ia tengah berbohong atau tidak. "Aku bisa lakukan apa saja untukmu."

Terbayang di benak Seulgi akan ia yang benar-benar menikah dengan pria patung lilin ini suatu hari. Bagaimana nasipnya? Mau makan apa dia, karena keduanya sama-sama orang yang tidak pernah begelut dengan kompor? Lalu bagaimana dengan mencuci dan bersih-bersih? Mana mau Seulgi melakukannya, dan ia berani bertaruh jika Jimin pun sama tidak sudinya.

Kemudian saling cinta pun tidak, bagaimana bisa mereka akan tinggal seatap? Walaupun Seulgi tahu kalau Jimin itu kaya raya, Jimin bisa memberikannya apapun dan Jimin bisa mengabulkan apapun yang ia inginkan, tapi jika ia tidak cinta untuk apa semua itu? Karena yang paling penting di dalam hidup ini adalah bahagia, bukan? Kalau tidak, rumah tangga macam apa yang mau dibangun?

"Mau kau belikan aku pulau sekalipun, sepertinya aku tidak akan bisa menikah denganmu."

"Kenapa?"

Jimin dengan polosnya menanyakan sesuatu yang sudah jelas. Wajar sebenarnya pria itu bertanya, karena ia mungkin benar-benar tidak tahu sepenting apa itu cinta.

Bagi Jimin, hidupnya hanya tentang pilihan dan kebutuhan. Tidak lebih dari tidak mementingkan perasaan orang lain, selayaknya Seulgi yang mendewakan kebahagiaan di atas segala-galanya.

White Marriage || seulmin•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang