Ternyata Bahagia Se-sederhana Ini?

48 9 1
                                    

Jika bahagia bisa didapatkan semudah ini, kayaknya nggak akan pernah ada yang namanya lara di dunia ini.
-Janus Auriga

_______••_______

Janus tersenyum simpul ketika melihat Lana yang tertawa karena berhasil mengoleskan es krim ke pucuk hidung Kane. Kedua manusia adam itu sedang saling kejar-mengejar, meninggalkan Janus yang menatap dengan senyum simpulnya.

Mata bulat Lana melengkung, cantik seperti bulan sabit. Buat hati Janus menghangat dengan sendirinya.

"Ngapain di situ sih, Janusss!" rengekan kecil itu buat Janus langkahkan kakinya untuk menghampiri keduanya. Ia tunjukkan senyum antusias yang sudah lama sirna dari sudut bibirnya. Dengan es krim yang digenggam erat di tangan kanan, Janus makin cepatkan langkah kakinya.

Padahal, jika dipikir-pikir Janus baru mengenal Lana juga Kane. Tapi ternyata, perasaan nyaman tak perlu ukuran waktu.

Dingin; Janus mengedip cepat ketika secara tiba-tiba Lana oleskan es krim di pipi kanannya. Dia hanya bisa membeku di tempat.

"Dih, jangan sksd, Na. Berasa dah kenal banget apa gimana deh," sindir Kane sambil memberi sehelai tisu pada Janus.

Janus menerimanya, lalu tersenyum tulus.

"Nggak apa-apa, kok. Lagian enak, kerasa dingin," ucap Janus.

Lana yang mendengar itu langsung menjulurkan lidahnya pada Kane, "Wleek!" mengejek laki-laki itu dengan raut wajahnya.

Kane hanya membalasnya dengan dengusan pelan. Laki-laki itu memilih abai lalu mendudukkan diri di pasir putih pantai. Biarkan celana hitamnya menyentuh butiran halus dari unsur-unsur pasir itu.

Kemudian, Lana ikut duduk di sebelah laki-laki itu.

"Kalian udah deket dari lama ya?" Janus katakan itu sambil mendudukkan diri di samping Lana. Dia menatap pada Lana dan Kane secara bergantian.

"Iya. Dari kecil malah," jawab Lana dengan tersenyum antusias.

"Iya, sampai hapal nih sama jelek-jeleknya ni anak," balas Kane sambil menoyor pelan dahi Lana.

Yang ditoyor itu hanya meringis lalu menyumpah serapahi Kane dalam batin.

"Pantesan udah deket banget. Aku ngiranya kalian dulu pacaran pas ketemu di restoran waktu itu."

Lana mengernyit mendengarnya. Gadis itu coba mengingat-ingat apa yang ia lakukan di restoran kala itu sampai Janus simpulkan jika dirinya sedang menjalin hubungan dengan Kane, lelaki yang sudah ia anggap layaknya keluarga.

"Mana ada! Lagian mana mau aku pacaran sama ni anak. Udah jelek, jail lagi, huuu," ujar Lana setengah bercanda.

Tapi ternyata, Kane tak bisa menangkap candaan itu. Dadanya berdenyut ngilu, "Iya, mana mungkin." Dan senyumnya langsung luntur.

"Sedih amat, Ka. Becanda ailah." Lana menoel-noel lengan Kane.

"Apasih, lagian aku juga nggak mau pacaran sama orang jelek," kesal Kane. Sebenarnya, laki-laki itu hanya sedang mencoba untuk mendistraksi pikirannya.

"Heh, ketiak kuda! Bisa-bisanya bilang aku yang udah mirip sama Anna ini jelek!"

"Anna lebih cantik, padahal dia cuma karakter. Kamu mah yang ada di real life masih kalah jauh, Na," ujar Kane sambil mengendikkan bahu.

Perkataan itu jelas buat Lana makin naik pitam. Dia memukul-mukul bahu Kane beberapa kali, sebelum berhenti karena mendengar suara tawa Janus di telinga kanannya.

Dan benar saja, Janus sedang tertawa kecil setelah melihat interaksi keduanya.

"Ketawa terus dong, kamu ganteng," ujar Lana tanpa sadar.

"Eh?"

"Eh? Ahahah, y-ya gitu, Nu. Ketawa gitu, gantengnya makin kelihatan kalau gitu, hehe," lirih Lana sambil menggaruk pipinya yang tak gatal.

"Malah godain anak orang nih anak."

Sekali lagi, Kane menoyor pelan dahi Lana. Buat yang ditoyor itu jadi menggerutu tak jelas.

Lupakan Janus yang baru saja jadi objek perhatian. Lupakan Janus yang hatinya menghangat perlahan. Lupakan Janus yang telinganya memerah tanpa ada sepasang mata yang melihat.

Rasanya tenang. Rasanya nyaman. Dan Janus suka.

Apa seperti ini definisi bahagia yang sederhana? Perasaan yang menghangat hanya dengan hal-hal sesederhana pujian dari seseorang. Dia juga rasakan ini ketika bundanya beri kata-kata manis padanya.

Tapi kali ini, Janus merasa ada yang berbeda. Perutnya seperti digelitiki oleh tangan-tangan tak kasat mata. Buatnya pejamkan mata, lalu membukanya perlahan. Berharap tidak akan pernah kehilangan momennya.

Lalu yang ia lihat untuk pertama kalinya adalah binar dari mata bulat Lana.

"Lagian, kenapa harus mikir kalau keliatan deket itu berarti pacaran sih?" tanya Lana.

Diam-diam, Kane ikut memasang telinga.

"Ya ... karena perasaannya saling berkait? Nggak tau juga, pikiranku selalu bilang kalau cewek-cowok yang sedeket kalian itu pasti saling punya perasaan yang lebih dari sahabat. Lagian, nggak ada sahabat setulus itu kan perasaan sayangnya?"

Dan diam-diam juga, Kane membenarkan kalimat Janus dalam kepala. Karena dia bukti nyatanya. Setulus apapun Kane coba untuk sayang pada Lana sebagai seorang sahabat, nyatanya ia tetap jatuh juga.

Jatuh pada perasaan yang ia sendiri tidak tau siapa yang harus bertanggung jawab.

Berbeda dengan Lana yang justru menggeleng keras, gadis itu menyentil pelan dahi Janus.

"Enggak. Kamu mainnya kurang jauh. Makanya, kamu harus sering-sering buat main sama aku sama Kane, okey?"

Dan bisa apa Janus selain mengangguk pelan? Menolak mata bulat yang berbinar itu? Tidak mungkin. Janus punya hati yang lemah.

Langit Bercerita (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang