Rasa

23 6 2
                                    

Beberapa rasa tumbuh subur, beberapa lainnya mati dan tak bisa tumbuh dengan akar yang baru.

_______••_______


Langit adalah saksi dari setiap rasa sakit, segelintir rasa senang, secuil rasa gamang juga setumpuk asa yang terpendam. Langit simpan semua rahasia manusia itu rapat-rapat dalam luasnya yang tak terkira.

Termasuk rahasia dua anak adam yang kini sedang menautkan jari-jemari pada sela-sela yang tak terisi.

Janus tersenyum tampan. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas seolah ada kail tak kasat mata yang menariknya dengan sengaja. Tangan besarnya masih menyelimuti tangan Lana yang tak seberapa besarnya.

Di bawah atap kayu dari rumah seni, keduanya habiskan waktu sekedar untuk menatap beberapa lukisan yang sengaja dipasang pada dinding-dinding kayu ruang gallery itu. Sebuah kegiatan yang sebenarnya hanya dijadikan alasan untuk bisa habiskan waktu lebih lama; berdua saja.

"Hallo, maaf ya, lama."

Lalu suara laki-laki si pemilik rumah seni itu buyarkan kupu-kupu terbang yang menggelitik masing-masing perut mereka.

"Nggak apa-apa, Bang. Lebih lama juga ngga masalah, sekalian tour gallery gratis ini, haha." Janus selipkan gurauan pada si pemilik rumah seni yang umurnya takterpaut jauh dari mereka.

Lalu Agam, se pemilik rumah seni, hanya balas dengan kekehan singkat.

"Oh iya, aku udah lihat tiga lukisan yang kamu bawa tadi. Identik banget sama alam ya, haha. Boleh deh yang lukisan langit malam. Maknanya apa Jein? Takut salah nangkep nih aku, haha."

"Waduh kayaknya pemilik rumah seni kayak Abang nggak bakal salah tangkep sih."

"Halah, bisa aja."

"Hehe."

Janus tatap sebentar obsidian Lana sebelum kembali menatap pada Agam yang tersenyum simpul. Lalu, laki-laki itu mulai ceritakan makna tersirat dari sebuah lukisan yang ia buat dengan penuh puja.

"Abang bisa lihat, di tengah hutan itu ada satu laki-laki yang borgol kakinya patah meski tidak terbuka. Simpel saja sebenarnya, Bang. Lukisan itu menceritakan tentang bagaimana si lelaki sedang memaksa keluar dari segala belenggu di belakangnya, terlihat dari banyaknya bayangan yang ada di belakang si lelaki itu."

"Oh, wow."

Janus tersenyum melihat reaksi Agam. Laki-laki itu memang sengaja menjeda kalimatnya, biarkan beberapa kalimat terakhir menggantung di langit-langit mulutnya karena ia ingin menatap Lana.

Dia bawa kepalanya untuk menoleh, lalu mata mereka bertemu tatap. Dalam posisi itu, Janus kembali lanjutkan kalimat yang belum ia selesaikan.

"Dan dalam lukisan itu, Bang Agam bisa lihat ada bintang paling terang dari gemerlap bintang lainnya. Dari posisi si lelaki yang sedikit mendongak, Bang Agam pasti tau makna setelahnya."

"Bintang itu yang memandu jalan si lelaki untuk keluar dari belenggunya, benar?"

Janus beri anggukan sebagai jawaban, lalu bawa kepalanya untuk kembali menghadap pada si pemilik rumah seni, "Benar."

"Wah-wah, ternyata maknanya sedalam itu. Aku tadi nggak menangkap maknanya sampai sedalam itu loh, Jein. Udah bener ini aku berarti minta dijelasin dulu sama yang ngelukis, haha."

"Oke, aku ambil lukisan yang ini. Lukisannya bakal di pajang untuk pameran seni minggu depan. Nanti soal fee kita bicarain di belakang aja, oke? Haha."

"Siap, Bang. Makasih banyak ya, Bang."

"Alah, nggak usah makasih-makasih gitu. Lukisan kamu emang pantes buat dipamerin."

Agam beri tepukan pelan pada bahu Janus, dan keduanya tertawa setelah itu. Lupakan Lana yang masih ada di sana. Lupakan Lana yang matanya memanas hingga pelupuk matanya penuh dengan air mata; siap jatuh jika Lana berkedip sekali saja.

Beberapa saat kemudian, Agam pamit untuk pergi, meninggalkan dua orang yang entah rasanya saling berbalas atau tidak itu untuk tuntaskan apa yang memang harus tuntas. Lalu Lana mendongak, menatap Janus dengan mata berkaca-kaca.

"Eh? Kenapa? Kok-"

"Nu."

"Iyaa, Na? Kenapa hei?"

"Lukisan tadi."

Lalu Janus tersenyum, "Iya. Itu buat kamu."

Dan buliran bening yang sedari tadi ditahan oleh Lana pun akhirnya luruh. Tanpa permisi, buliran bening itu jatuh, buat aliran tersendiri melewati pipi. Dan tanpa permisi pula, hangatnya telapak tangan Janus singgah, mengusap pelan bawah mata Lana guna hapus jejak air mata yang tertinggal.

"Kalau aku bilang suka- enggak, kalau aku bilang aku cinta sama kamu, gimana Nu?"

Lirihan yang sedari lama ditahan itu akhirnya terlontar dari belah bibir Lana.

Tak ada raut wajah terkejut yang Janus tunjukkan. Tak ada pula raut wajah bertanya yang lelaki itu perlihatkan. Janus jelas tak buta akan perasaan Lana. Laki-laki itu bisa lihat bagaimana cinta perempuan itu tumbuh hanya dari binar mata bulatnya.

Namun, Janus justru hanya tersenyum, tersenyum sangat tulus tanpa berikan jawaban apa-apa.

Karena Janus buta pada perasaan miliknya.


_______  _______

Narasi ini adalah salah satu narasi yang paling aku suka dari narasi-narasi lain yang aku suka. Narasi ini juga bakal jadi awal permulaan dari kita untuk mengenal Janus lebih dalam. Jika sebelumnya kita fokus pada mereka bertiga, juga Kane dan perasaannya. Maka mulai dari part ini, kita akan fokus pada Janus dan perasaannya. Tentang serumit apa isi kepala dan borgol-borgol tak kasat mata yang menjerat hidup seorang Janus Auriga.


Sekali lagi, selamat membaca. Semoga suka.

Langit Bercerita (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang