Tumbuh di alam liar buatku jadi tau.
Rumah memang sepenting itu.
-Janus Auriga
• • •
Jika rumahmu hancur, aku punya pondasinya.
-Lulana
• • •
Rumahku ada, hangatnya saja yang hilang.
-Kane Cello
_______••_______
Menjadi manusia memang tak mudah, apalagi jika yang berdiri dengan kaki menapak di tanah itu adalah diri yang tak pernah diingini. Bukan oleh dirinya, tapi oleh orang-orang yang entah kenapa berlaku begitu buruk terhadapnya.
Bahkan ketika kakinya sudah tak menapak sekalipun, mungkin ia masih tetap menjadi seseorang yang tak diinginkan.
Laki-laki dengan gaya rambut slanted sweep itu tengah menatap kedua kakinya yang tak lagi menapak di tanah karena ia sedang duduk di ayunan. Gerak maju-mundur dari ayunan itu pelan, layaknya sedang selaraskan dengan perasaannya yang gamang.
Dia ... Janus Auriga, salah satu anak yang dibesarkan di Panti Asuhan Bunda Agata.
Janus atau yang biasa dipanggil sebagai Jein oleh teman-temannya adalah anak yang tumbuh besar di Panti Asuhan selama 20 tahun. Dia tumbuh bersama dengan anak-anak lain yang juga tak punyai sosok ayah dan ibu dengan berbagai alasan yang tak akan pernah mereka terima.
Alasan yang buat mereka tumbuh tanpa belas kasih sayang dari dua orang tua yang seharusnya.
Selama 20 tahun tumbuh besar di panti asuhan dengan biaya seadanya, buat Janus putuskan untuk hidup sendiri dan tak lagi membebani bundanya lagi. Namun, meski sudah tinggal sendiri selama tiga tahun lamanya, Janus tak lupa akan asalnya. Ia akan selalu sempatkan untuk pulang ke panti asuhan, satu-satunya tempat yang ia anggap sebagai rumah.
Janus mengangkat kepala, sedikit mendongak untuk menatap bulan sabit yang tak sembunyi di balik langit malam.
"Kamu kan nggak punya ayah sama ibu, mana boleh main sama kami. Dasar anak buangan." Ia bisa mengingat dengan jelas, perkataan dari seorang anak kecil berusia sembilan tahun yang terukir jelas di laci-laci kepala. Perkataan yang sudah berhasil buat sayatan yang tak pernah mengering hingga sekarang.
Dia sering bertanya-tanya, "Apa salahnya dengan tak punya ayah ibu? Toh ia punya bunda." Tapi, mereka yang hanya ingin melihat apa yang mau mereka lihat, tak akan pernah mengerti maksud kalimatnya. Karena bagi mereka, Janus hanyalah seorang anak malang yang dibuang oleh ayah ibunya.
Padahal, bulan tetap tampak bersinar meski hanya memantulkan sinar sang surya.
Janus juga seperti itu. Meski tanpa sosok ayah ibu, dia akan tetap tumbuh dengan sinar yang ia dapat dari sekitarnya, terutama sang bunda.
Bicara tentang bulan, ingatan Janus akan selalu membawanya kembali pada 21 tahun yang lalu. Saat dimana bunda bercerita tentang bagaimana namanya dibuat pada tahun 1997.
Kala itu, seorang anak laki-laki yang baru berusia tiga tahun pasti tak terlalu bisa menangkap kalimat sang bunda. Namun, sekarang Janus dewasa ini mengerti arti dibalik cerita baik itu.
Dirinya dibuang dan tak diinginkan.
Janus lahir pada tanggal 8 Desember 1997, setidaknya itulah yang ia percaya karena tubuhnya yang terbungkus kain tipis ditinggalkan di ayunan yang kini sedang ia naiki pada tanggal itu.
Kata bunda, saat itu ia terlihat begitu pucat dan sama sekali tak keluarkan suara untuk menangis, hingga bundanya lari ke jalan raya dan meminta pertolongan untuk diantar ke rumah sakit terdekat.
Padahal, bunda Agata bisa memilih untuk membuangnya atau setidaknya meninggalkan ia di ayunan saja setelah tau jika bayi kecil itu memiliki kemungkinan tak akan pernah bisa berakhir menapak di bumi hingga sekarang.
Tapi, bunda lebih memilih untuk lari tergopoh-gopoh hingga seorang supir taksi berhenti dan membawanya sampai ke rumah sakit.
Kata dokter saat itu, dia hanya kedinginan dan tidak tau bagaimana cara merespon rasa dingin itu, makanya dia tak menangis. Dan ya, wajar saja jika Janus kecil merasa kedinginan ketika yang membungkus tubuhnya hanyalah selembar kain tipis yang bahkan tak bisa menghalau rasa dingin jika orang dewasa yang memakainya.
Dari situlah Janus mengambil kesimpulan, jika dirinya memang tak pernah diinginkan.
Selembar kain tipis saja sudah bisa membuktikan bahwa kelahirannya tak pernah diharapkan. Atau posisinya yang diletakkan di ayunan begitu saja, jelas sekali jika ia ditinggalkan, sendirian, tanpa pegangan.
Lalu soal namanya, Janus Auriga. Simpel saja, artinya adalah bulan.
Bundanya memberi nama Janus Auriga, karena sinar bulan malam itu sudah membantu sang bunda menemukan tubuh kecilnya yang kedinginan. Tubuh kecil yang hampir kehilangan nyawa jika saja ditemukan dalam waktu yang lebih lama.
Sebuah skenario paling buruk yang kadang muncul di kepala Janus sebagai skenario yang sangat ingin Janus tempuh saja. Jika saja Bunda Agata tak menemukannya malam itu, mungkin ia tak perlu susah payah hanya demi bertahan hidup.
Namun, isi kepalanya itu akan akan kembali ditepis jauh-jauh oleh suara adik-adiknya di panti asuhan.
"Kak Jein lihat mainan baruku!"
Atau-
"Kak Jein, ayo main!"
Janus tak pernah mau, jika ada lebih banyak orang yang rasakan hal yang sama seperti dirinya. Jika ia tak punya sandaran, setidaknya ia harus bisa jadi sandaran untuk adik-adiknya.
Itu saja.
"Janus sayang, udah malem. Masuk yuk." Panggilan dari sang bunda buat Janus jadi alihkan perhatiannya dari sang rembulan. Ia menarik kedua sudut bibirnya, memberi unjuk senyum termanis yang dia punya.
"Iya, Bunda. Bentar lagi ya? Janus lagi cerita sama bulan."
"Yaudah, nanti kalau udah selesai urusannya sama bulan, ganti sama bunda ya? Bunda mau tau gimana hari anak bunda hari ini."
Setelahnya, Bunda Agata kembali masuk ke dalam rumah dua petak yang dijadikan sebagai rumah untuk anak-anak yang tak punyai sosok untuk pulang, sama seperti dirinya.
Dan Janus hanya bisa tersenyum, menatap kepergian bundanya. Diam-diam rapalkan syukur karena dipertemukan dengan seseorang sebaik bundanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Bercerita (COMPLETE)
RomanceTidak semua punya rumah, tidak semua punya tempat untuk pulang. Karena terkadang, manusia lahir dengan rumah yang sudah hancur sedari lama. Lalu... mereka harus pulang ke rumah yang seperti apa? Bukankah sekarang pilihannya hanyalah singgah untuk se...