Ada tangan yang saling menggenggam, ada pula tangan yang selalu siap berikan genggaman. Dan aku ... jadi yang terakhir dari dua pilihan itu. -Kane Cello
_______••_______
Kane menatap hangat pada gadis yang sedang sibuk mengompres pipi kirinya dengan es batu. Mata elangnya mengamati seluruh bagian wajah Lana, tanpa terkecuali.
Mata bulat yang berkedip cepat, hidung kecilnya yang tinggi, bulu matanya yang panjang juga bibir tipis yang sedari tadi mengomel cepat.
Cantik, selalu cantik. Dan Kane suka.
"Berapa kali sih ditamparnya? Kok sampek lebam banget gini."
"Terus gimana dadanya? Masih kerasa sesek?"
"Inhalernya masih banyak kan? Atau perlu aku beliin lagi?"
"Ini pipinya perih nggak sih, Ka."
"Ngilu banget aku lihatnya."
"Ihh jawab dong! Yang luka kan bukan kotak suaranya!"
Lana angkat kepalanya untuk menatap Kane yang hanya menatap tersenyum ke-arahnya.
"Satu-satu nanyanya, Lanaa."
"Dih! Yaudah sih, jawab aja."
Kane tersenyum mendengar jawaban itu. Tangan lelaki itu naik ke permukaan rambut Lana, mengusapnya pelan, seolah rambut hitam itu akan rontok jika ia beri tekanan lebih dari yang sekarang sedang dilakukan.
"Aku nggak apa-apa." Lalu Kane ucapkan itu untuk berikan rasa tenang.
"Sesekali bilang anjing kek!" sungut Lanaa, merasa tidak puas dengan apa yang baru diucapkan oleh lelaki di hadapannya.
"Udah sering."
Dan jawaban Kane itu, buat Lana mendecih kuat-kuat. Gadis itu kemudian mulai membersihkan peralatan yang ia pakai untuk mengompres juga mengobati luka Kane. Tak pedulikan Kane yang terus menatap pergerakannya dalam diam.
Tak butuh waktu lama sampai Lana selesai dengan urusannya. Gadis itu kemudian duduk bersila di lantai, menghadap Kane yang memang sedari tadi duduk di atas lantai dingin itu.
Lana selami mata elang Kane. Menatap pada dua bola mata yang menatap kosong padanya. Tatapan itu, tatapan yang sama yang pernah Kane kecil tunjukkan padanya, dulu.
"Luka di wajahnya udah selesai diobati. Kalau hati kamu ... gimana, Ka?" tanya Lana, tak alihkan sedikit pun arah pandang matanya.
"Masih kerasa sakitnya." Dan Kane menjawabnya tanpa berpikir dua kali.
Karena bagi Kane, Lana adalah rumah. Rumah yang hangat dan nyaman. Laki-laki itu tak mungkin tak merasa aman.
"Tapi, nggak papa. Nanti lama-lama juga sembuh. Kayak kata kamu, waktu adalah obat paling manjur."
Lana tersenyum lebar, "Masih inget aja. Padahal aku bilangnya waktu masih SMP."
"Apasih La yang nggak aku inget dari kamu."
'Orang aku sayang sama kamu. Tapi, kayaknya kamu suka sama orang lain ya?' lanjut Kane dalam kepala.
Keheningan mengisi ruang tamu rumah Kane itu. Keheningan yang terasa mencekat bagi Kane yang sedang menata hati sebelum vokalkan isi kepala.
"La," panggil Kane pelan.
"Iyaa?"
"Do you love him?"
"Him?"
"Jein."
Kane mengamati bagaimana perubahan wajah Lana. Gadis yang semula hanya tersenyum simpul itu, kini tersenyum sangat lebar. Dan hanya dengan itu saja, Kane sudah bisa tarik kesimpulan.
"Tiba-tiba banget?" Lana vokalkan isi kepalanya.
"Mata kamu sering bilang gitu."
Ada luka baru setelah Kane mengakui apa yang baru diucapnya. Dadanya seperti dihimpit benda tajam tak kasat mata. Dia tidak suka, tidak pernah suka jenis perasaan itu.
Tapi ... mana mungkin Kane tak menyukai mata berbinar Lana, meski dia bukan penyebabnya.
"Ternyata kelihatan ya?"
Kane mengangguk pelan. Merutuki sedu yang perlahan tercecer di dada.
"Kalau cinta ... mungkin belum sampai ke tahap itu. Tapi, iya. Aku suka Janus, Ka."
Riangnya Lana dalam menjawab, buat Kane makin menunduk. Laki-laki itu jelas sudah tau perasaan Lana lebih dulu. Tapi mendengarnya sendiri dari bilah bibir Lana, buat perasaannya jadi makin berkabut.
Rumahnya kini sudah temukan pemilik baru. Lalu setelah ini, dia harus singgah kemana?
"Ka."
Panggilan itu buat Kane mengangkat kepala.
"Kenapa nunduk? Ada yang sakit?"
'Ada.' Tapi, mana mungkin Kane vokalkan isi kepalanya itu.
"Enggak. Tadi lihat semut lewat."
Lana ikuti arah pandang Kane. "Mana? Nggak ada?"
"Udah pergi," jawab Kane sekenanya.
"Kamu seneng La?" lanjut Kane untuk mengalihkan perhatian Lana.
"Eh? Seneng?"
"Kalau Jein suka sama kamu balik."
Kane menatap lekat mata bulat gadis di hadapannya. Mata bulat yang tak urung makin buatnya terperangkap hingga tak temukan jalan keluar.
Mata bulat yang selalu ia puja dalam diamnya menatap. Mata bulat yang ternyata binarnya tak tertuju padanya.
"Kok makin ngalor ngidul? Aku cuma suka? Karena Janus menarik aja di mata aku. Tapi kan aku belum cinta sama dia."
"Kalau udah cinta gimana?"
Lana mengernyit bingung. "Ya ... seneng? Udah ah. Ini aku tu kesini buat kamu. Kok malah ngomongin Janus. Dasar." Lalu gadis itu menyentil pelan dahi Kane.
Tanpa tau, jika tindakannya itu makin buat Kane menaruh perasaan. Perasaan yang memang bukan tanggungjawab Lana.
"Nih, makan nyam-nyam ini aja. Kok belum di makan deh tadi."
Lana menyodorkan bungkusan jajan berwarna kuning di tangannya pada Kane yang menerimanya. Laki-laki itu membuka bungkusnya perlahan, berusaha mendistraksi kepalanya agar tak makin kesusahan untuk melupa.
"Tau nggak La, aku suka sama ini gara-gara kamu," ujar laki-laki itu pelan.
"Aku?"
"Iya. Gara-gara kamu ngasih ini waktu aku nangis karena bunda pergi. Di pinggir jalan, waktu matahari sedang terik-teriknya."
"Ka ..." Lana bergumam lirih. Perempuan itu segera menarik tangan kiri Kane yang bebas. Membiarkan tangan kanan laki-laki itu memegang erat bungkus kuning itu dengan erat.
"Waktu itu, aku mikir, bisa-bisanya kamu milih ngasih aku nyam-nyam daripada tisu, padahal aku lagi nangis. Tapi, setelah bunda di makamkan, setelah aku pulang ke rumah dan ditinggal papa sendirian, aku nemuin nyam-nyam ini di kantong celana."
Kane sengaja menjeda kalimatnya guna selami mata coklat terang Lana yang sedang menatapnya.
"Aku berasa di temenin, padahal aku nggak kenal kamu. Apalagi waktu buka isi snacknya, aku lihat banyak buletan-buletan warna -warni. Kelihatan kayak gelang yang bunda pakai sebelum kecelakaan. Aku ... berasa ditemenin bunda."
Sekali lagi, di hadapan Lana, Kane pertunjukkan buliran bening dari matanya untuk luruh tanpa perlu ia tahan. Dia biarkan, tubuh tegapnya ditarik pelan, masuk dalam dekapan gadis yang tubuhnya jauh lebih kecil. Lalu punggungnya dapatkan usapan yang dinanti.
Buat sakit yang memang makin menumpuk, keluar tanpa perlu Kane minta lagi.
____________
Have a good nightttt
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Bercerita (COMPLETE)
RomanceTidak semua punya rumah, tidak semua punya tempat untuk pulang. Karena terkadang, manusia lahir dengan rumah yang sudah hancur sedari lama. Lalu... mereka harus pulang ke rumah yang seperti apa? Bukankah sekarang pilihannya hanyalah singgah untuk se...