10. Masa kecil Varo 1.

459 44 1
                                    

Sejak kecil, Varo sudah memakklumi semua hal yang terjadi di depannya. Dipaksa menerima kenyataan apapun bahkan luka yang akan menorehkan kesedihan dan lubang di hatinya.

"Tuan muda, Mama anda baru saja meninggal dunia."

Varo tidak bisa mengeluarkan air mata setetes pun di pelupuknya. Entah kenapa ini kering saat tangannya mencoba menyeka air mata yang tak keluar. Ia tertawa kering, alih-alih memperlihatkan kesedihan. Bocah yang masih berumur 10 tahun itu malah menyeringai.

"Oh, ya?" Varo terlihat tenang sembari membaca bukunya, tapi sebenarnya hatinya perih. "Dia ada ngasih pesan-pesan terakhir sebelum mati nggak?"

Saat itu juga semua pelayan dan pengawal yang ada di rumah itu, hanya bisa melongo saat sang tuan muda bertanya dengan nada santai, apalagi ibunya meninggal dunia. Bahkan berniat untuk menjenguk ke rumah sakit pun tidak.

"Nyonya tidak mengatakan apapun." Bina pria berusia dua puluhan, sang asisten pribadi Varo meneguk ludah setelah mengucapkan itu.

Varo mengangguk, lalu kembali membalik halaman di bukunya. Memangnya, apa yang bisa ia lakukan? Toh ia sejak kecil sudah diajarkan untuk tak boleh menangis, mereka semua hanya ingin melihat Varo tumbuh menjadi anak yang cerdas, kuat dan patuh dengan cara mereka yaitu kekerasan.

Mamanya pernah berkata, "kalau kamu ingin terus hidup enak, tolong jadi anak yang baik. Kamu harus baca buku tiap hari dan dapatkan nilai yang bagus. Berusahalah untuk jadi sempurna dalam segala aspek. Ingat! Kamu itu nanti akan jadi cikal bakal penerus satu-satunya Varendra group. Kalau kamu cengeng cuma karena mama pukul aja, mending kamu nggak usah jadi anak mama aja."

Saat mendengar kalimat itu keluar dari mulut ibunya sendiri, Varo yang dulu masih berumur 3 tahun hanya bisa menahan isakannya. Hari itu, dia mendapatkan pukulan lagi di tubuhnya. Tongkat golf itu adalah hal yang paling ia benci.

"Masak kamu nggak bisa ngafalin kosa kata di kamus bahasa Jerman ini sih?" Vania, ibu Varo saat itu hanya melemparkan kamus tebal itu ke meja saat mendengar anaknya menjawab pertanyaan salah dari guru bahasa Jermannya sore itu.

"Nggak papa Nyonya, kan Varo masih kecil? Dia masih punya banyak waktu untuk belajar lebih baik lagi."

Bina saat itu menjadi guru bahasa asingnya Varo, juga merangkap sebagai asisten pribadi yang serba bisa. Guru privat dan menyediakan kebutuhan tuan mudanya. Dia selalu turut membantu membela sang tuan muda jika dalam terpojok seperti ini.

"Kamu, nggak usah ikut campur ya? Kalau soal mendidik anak, itu tugas saya. Tugas kamu cuma ngajarin dia dalam pelajaran. Kamu itu hanya asisten, bisa apa kamu?" tunjuk Vania dengan mata melotot tajam.

"Maafin Varo, Ma. Varo akan belajar lebih giat lagi." tubuh Varo gemetar, ia sangat takut dengan tatapan kemarahan ibunya. Apalagi ia sering dipukuli dengan tongkat golf panjang milik ibunya itu.

"Nggak ada ampun, buat anak pemalas macam kamu!"

Saat itu juga yang Varo takutkan terjadi, ibunya kembali mengambil benda yang ia benci. Tongkat golf kesayangan ibunya itu melayang malang dan mengenai punggung mungilnya.

"Akhh, sakit Ma!" Varo berteriak, saat itu tubuhnya langsung ambruk ke lantai.

"Kamu masih aja nangis! Kalau kamu nangis, Mama tambah lagi pukulannya!"

Plakkk.

"Hentikan, Nyonya! Kali ini saya yang salah. Saya yang tidak becus mengajarkan tuan muda."

Bina menunduk dan melindungi Varo dari pukulan ibunya. Hal itu menyebabkan punggung asisten pribadi Varo juga ikut menjadi korban. Rasa perih ini masih bisa ia atasi karena tubuhnya yang kekar dan dewasa. Namun bagaimana dengan tubuh tuan mudanya yang masih kecil?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 23, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BEST FRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang