2. Hello

164 32 0
                                    

Raina menaikkan resleting jaketnya, hingga sebatas leher. "Nggak papa lah basah dikit. Terobos ajalah!" gumamnya.

Langkah gadis itu buru-buru menepi dipinggiran toko buku, dimana sudah banyak sekali orang yang juga sedang mengantri untuk melamar pekerjaan. "Gila, banyak banget yang ngelamar kerja di sini? Belom apa-apa, gue udah ngerasa insekyur, kayaknya mereka semua otaknya pada tokcer deh. Mana gue nggak punya orang dalem lagi!" Gumamnya.

Raina berjalan agak jauh dari kerumunan para pelamar kerja tersebut. "Pengen sih, kerja di kantor ayah, posisinya juga menjanjikan, nggak perlu capek-capek ngelamar gini. Tapi, ya kali, dua puluh empat jam diawasi ayah mulu! Males banget! Kerja harusnya bebas, caper sana-sini, malah nggak bisa kalo ada ayah. Nggak ada bedanya kayak penjara!"

Raina bergidik ngeri, saat otaknya kembali pada ingatan masa lalunya.

Mata Raina jauh menerawang, lalu gadis itu menghela napas panjang. "Si Alin, kabarnya gimana ya?"

Sedetik kemudian, gadis itu menggeleng cepat. "Ngapain sih, lo masih mikirin dia? Dia juga belum tentu mikirin elo, Ra! Move on! Move on! Masih aja lo mikirin dia!"

Begitu pintu utama toko buku tersebut dibuka, para pelamar kerja itupun buru-buru masuk, termasuk Raina.

Mata Raina memperhatikan interior toko buku tersebut yang sepertinya dibuat senyaman mungkin. Dan, target mereka di lantai 1 sepertinya adalah anak-anak. Sebab, di lantai 1 ini, mereka  menyediakan mini Playground.

Raina mengikuti arahan dari salah seorang security yang meminta mereka untuk naik ke lantai 3. Security tersebut meminta mereka untuk duduk menunggu pada kursi yang sudah disediakan di depan sebuah ruangan.

"Silahkan menunggu giliran untuk dipanggil oleh HRD, saya permisi." Setelah berkata demikian, security tersebut pun pergi, meninggalkan para pelamar kerja tersebut.

Raina pun mengikuti arahan sang security. Lalu, dengan santai dirinya mengeluarkan ponsel dan bermain game. Tampak santai dan tidak gugup sama sekali. Sungguh berbeda dengan para pelamar yang lain.

Beberapa dari mereka begitu sibuk, entah merapalkan doa, memperhatikan penampilannya, membicarakan tentang si pemilik toko yang katanya tampan, namun tidak ramah dan sebagainya.

Hingga sebuah suara memanggil mereka untuk masuk satu persatu sesuai dengan arahan.

15 menit kemudian, gadis pertama yang diwawancarai itupun keluar. Namun, yang mengangetkan adalah gadis itu keluar sambil menangis.

Raina tampak tak peduli dan kembali fokus dengan ponselnya. Sedangkan para pelamar yang lain tampak khawatir dan cemas.

Kening Raina hanya mengerut, ketika pelamar ke-2, ke-3 dan ke-4 juga menangis setelah melakukan wawancara. "Lemah banget, cuma wawancara doang udah nangis." gumamnya.

Gadis itu mendengus, tampak mulai bosan, karena tak kunjung dipanggil. Sesekali dirinya juga menguap.

"Kamu, nggak takut?"

Raina mengerjap, ketika mendengar pertanyaan dari pelamar di sebelahnya. "Emang harus?"

"Ya kan, kamu liat tadi banyak pelamar yang nangis begitu keluar dari ruang wawancara."

"Nggak penting! Toh, mereka yang di dalam juga manusia, ngapain harus takut?"

"Iya sih. Tapi, ngeliat banyak pelamar yang nangis begitu keluar dari ruangan wawancara, kayaknya tes-nya susah, deh."

"Nggak usah dipikirin! Yakin aja sama diri sendiri! Sejak awal ngelamar kerja harusnya udah siap sama semua konsekuensinya. Entah itu baik atau buruk, terus aja dicoba!" Raina bisa melihat perempuan di sebelahnya tersenyum kecil.

Hello Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang