3. Siapa?

152 27 1
                                    

Raina merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Helaan napas panjang terus-menerus ia hembuskan.

Alin.

Nama itu terus saja berputar di kepalanya setelah pulang dari interview kemarin. Setelah sekian lamanya tidak berjumpa, tanpa disengaja, laki-laki itu tiba-tiba saja muncul di hadapannya.

Hm, sebenarnya bukan tidak disengaja. Hanya saja, sepertinya Tuhan memang menakdirkan mereka untuk bertemu kembali.

Ada perasaan lega, kagum dan bersyukur, ketika Raina melihat penampilan Alin sekarang. Laki-laki itu sungguh berbeda dari sosok Alin yang dikenalnya dulu.

"Modelannya udah kayak CEO muda, pasti udah punya cewek lagi dia." gumam Raina. "Tapi... Dia masih inget sama semua kebiasaan gue... Masa iya dia belum move on?"

Kepala Raina menggeleng. "Nggak mungkin! Dia udah sukses sekarang, udah bisa milih cewek mana aja yang mau dia jadiin pendamping, dan yang pasti, cewek itu bukan gue!"

Raina berdecih. "Jelaslah, ngapain juga dia masih ngarepin gue? Udah pasti dia sakit hati sama apa yang udah ayah lakuin. Kalo gue diposisi dia, gue juga bakal sakit hati."

Mata Raina jauh menerawang pada langit-langit kamar. "Seandainya waktu bisa diputar..."

Raina tersenyum tipis. "Alin, gue ikut seneng ngeliat lo yang sekarang. Gue harap, cewek lo yang sekarang, jauh lebih baik dari gue..."

Entah apa yang salah dengan dirinya. Kata-kata yang diucapkan Raina sungguh berbanding terbalik dengan matanya yang mengembun. Lalu, perlahan air mata keluar dari mata cantiknya itu.

"HAI BESTIE!!! SELAMAT YA!!!"

Raina buru-buru menghapus air matanya, ketika Naina masuk begitu saja ke kamar.

"Rebahan mulu, traktiran dong! Kata bunda, lo diterima kerja di toko buku, kan?"

Raina terduduk dan mendengus. "Yang ada, elo yang nraktir gue! Baru juga diterima kerja! Belom juga kerja, belom punya gaji juga, udah traktiran aja mulut lo!"

Naina memperhatikan wajah kembarannya itu dengan seksama. Matanya memicing curiga, membuat Raina salah tingkah.

"Kenapa lo? Ngapain ngeliatin gue kayak gitu?" Cecar Raina.

"Lo abis nangis, ya?" Tebak Naina tepat sasaran.

Mata Raina membulat, namun sedetik kemudian dia berusaha menguasai dirinya. "Enggak, ngapain juga gue nangis."

"Kenapa?" Naina yang tadinya hanya berdiri di depan Raina pun duduk di sebelahnya.

"Apanya?"

"Elo kenapa? Kenapa nangis? Jangan nutupin apapun dari gue, karena gue pasti tau! Kita kembar, kalo lo lupa!"

Raina berdecak malas. "Nggak papa!"

"Raina!" Seru Naina tak terima.

"Gue..."

Naina tampak menanti kalimat apa yang akan diucapkan kembarannya itu.

"Gue kangen sama Alin..." Ucap Raina pelan, bahkan nyaris berbisik. Namun, Naina masih bisa mendengarnya.

"Tapi, bukan itu yang jadi masalahnya." Ujar Raina, ketika Naina tidak berkomentar apapun, dan tampak masih ingin mendengarkannya. "Minggu depan, gue udah mulai kerja. Dan lo tau nggak, siapa pemilik toko buku itu?"

"Jangan bilang..."

Raina mengangguk pelan. "Alin yang punya toko buku itu."

"Dan, elo masih sayang sama dia, tapi takut sama ayah?" Tanya Naina hati-hati.

Hello Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang