7. Tragis

144 24 14
                                    

"Mulai besok, kamu mulai training di kantor ayah!"

Yudha membuka acara sarapan pagi keluarganya dengan ucapan yang sesuai dengan ekspektasi Raina.

Raina tidak mengiyakan ataupun menolak, gadis itu hanya diam.

"Loh, kakak dipecat dari toko buku? Atau, kak Raina udah berhenti duluan? Tapi kan, kakak baru kerja dua hari, masa iya udah berhenti aja?" Tanya Tara, yang kebetulan hari ini bisa bergabung bersama untuk sarapan. Akhir-akhir ini, si bungsu nomer 2 itu memang sedang sibuk dengan kegiatan kuliahnya di dunia kedokteran.

Raina hanya tersenyum tipis.

"Karena kantor ayah lebih butuh kakak." Jawab Yudha, tanpa melihat ke arah Tara yang merasa heran.

"Tapi, dari dulu kayaknya kantor ayah juga nggak kenapa-napa, kalo nggak ada kakak! Kenapa tiba-tiba butuh sama kakak?"

"Karena ayah egois dan nggak bisa percaya sama orang lain, biarpun orang itu punya bukti bahwa dia udah berubah. Makanya, dia nggak mau kak Raina berkembang di tempat lain." Jawab Winda. Wanita itu melirik sekilas ke arah Yudha yang tampak biasa saja mendengar sindirannya, bahkan terkesan mengabaikan ucapannya.

Tara yang akhirnya mengerti kemana arah pembicaraannya pun hanya bisa mengulum bibirnya, tidak berani bertanya lebih lanjut. "Oh iya, kak Naina udah berangkat Bun?"

"Dia keluar kota selama tiga hari buat pemotretan. Tadi pagi, jam tiga dia udah berangkat."

Kepala Tara mengangguk mengerti.

"Adek, kalo udah selesai sarapannya, ayo berangkat sekolah." Ujar Yudha yang baru saja menghabiskan kopi paginya.

"Ok!" Balas Harvey ceria.

Setelah Harvey menyelesaikan sarapannya, Yudha segera mengajak putranya itu berangkat, tak lupa juga untuk berpamitan kepada Winda, walaupun wajah istrinya itu tidak bersahabat.

"Hari ini Tara masuk kuliah jam berapa?" Tanya Winda, setelah mengantar suami dan putranya ke depan.

"Belom tau."

"Loh, kenapa gitu?"

"Kata anak-anak, dosennya nggak ada. Tapi, barusan di grup, dosennya bilang bakal ngajar, tapi telat. Si dosennya juga nggak ngasih tau jam yang lebih spesifik. Yang penting kan, aku udah mandi. Kalopun dosennya chat udah di kampus, ya tinggal berangkat aja, deket juga."

"Aku ke kamar dulu ya, bunda. Udah selesai sarapannya, kok." Pamit Raina.

"Ayah ngapain lagi sih, bun?" Tanya Tara begitu Raina sudah pergi dari ruang makan.

"Lagi kumat ngeselinnya. Bunda tinggal dulu ya, mau liat kak Raina dulu."

Tara mengangguk mengerti.

Winda mengetuk pelan pintu kamar si kembar. "Kakak? Raina?"

"Kenapa, Bun?" Tanya Raina setelah membuka pintu kamarnya.

"Nggak papa. Bunda cuma pengen tau kondisi kamu aja."

Raina tersenyum tipis. "Aku nggak papa, kok."

Tangan Winda terulur untuk mengusap lembut rambut Raina. "Maafin ayah, ya? Maafin bunda juga, karena kali ini, bunda nggak bisa bujuk ayah."

Raina menggenggam tangan Winda yang berhenti pada pipi kirinya. "Bunda..."

"Ya?"

"Aku mau minta ijin keluar sebentar."

"Kemana?"

Raina tampak ragu. Sedangkan Winda terus menatapnya dengan pandangan bertanya. "Aku... aku harus kembalikan seragam kerjaku."

Hello Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang