5. Bertemu

120 23 2
                                    

"Ini semua gara-gara lo tau nggak! Bisa-bisanya main lempar kunci sembarangan! Jadi ilang kan, kuncinya!" Marah Raina yang sibuk mencari kunci, yang dilempar Alin.

"Lo ngapain?"

Mata Raina melotot marah. Dengan enteng, tangannya memukul kepala Alin, hingga laki-laki itu mengaduh. "Buta mata lo? Menurut lo, gue ngapain? Mancing?"

"Gue kan, punya kunci cadangan." Jawab Alin dengan tangan kanannya yang masih sibuk mengusap kepalanya, dan tangan kirinya menunjukkan sebuah kunci dari dalam saku celananya.

Lagi, dan lagi. Raina kembali memukul kepala Alin.

"Masih barbar aja lo! Bener-bener ya, emak gue susah tau ngeluarin ini kepala! Taruhannya nyawa! Seenak tangan lo aja main mukul!"

"Bodo amat! Gue mau keluar sekarang! Jam istirahat gue udah abis!"

"Jangan dulu!"

"Kenapa?"

"Gue masih kangen sama lo."

"Dih, najis lo!" Cibir Raina, namun tidak menolak ketika Alin kembali memeluknya. Gadis itu bahkan balas memeluk Alin.

"Raina, nanti pulangnya gue anter ya?"

Raina melepaskan pelukannya dan menatap tajam Alin. "Jangan nyari mati! Ayah yang bakal nyusul gue!"

"Siapa yang nyari mati? Gue kan, cari restu."

"Alin!"

"Raina! Gue serius!"

"Enggak! Gue belum siap!" Tolak Raina.

"Terus, lo siapnya kapan? Masa iya, kita bakal sembunyi-sembunyi gini terus? Mau berapa lama sembunyi? Entah sekarang atau nanti, ntar juga pasti bakal ketahuan."

Raina diam. Tidak tau harus menjawab apa.

"Raina, gue serius! Kalo ayah lo ngelakuin hal-hal yang nggak diinginkan, gue siap jadi tameng buat lo. Ra, gue nggak mau lagi jadi pengecut. Gue akan terima resiko apapun, yang bakal ayah lo kasih nanti."

"Gue tau lo serius, tapi please... Jangan sekarang! Gue belum siap! Gue takut ayah bakal ngelakuin hal-hal yang bikin gue kembali kayak di penjara. Jadi, jangan sekarang." pinta Raina memelas.

Dengan lembut, Alin mengecup kening Raina. "Ok, gue tunggu sampe lo siap."



***



Sepanjang perjalanan pulang, Raina merasa tidak nyaman, ketika ayahnya menjemputnya. Setelah menerima Alin kembali, dia merasa seperti seorang pencuri yang harus pandai menyembunyikan barang curiannya.

Beberapa kali, Raina meremat tangannya sendiri, karena gugup. Takut ayahnya tau, jika dirinya kembali mempunyai hubungan dengan Alin. Alin mungkin merasa siap dengan segala konsekuensinya, namun tidak dengan dirinya.

Raina tau bagaimana perangai ayahnya yang terkadang punya jiwa psikopat. Raina benar-benar merasa khawatir dengan apa yang akan terjadi kepada Alin, jika laki-laki itu berani menemui ayahnya.

"Raina!"

Terlalu sibuk melamun memikirkan Alin, Raina tidak sadar, jika mobil yang mereka tumpangi sudah tiba di rumah.

"Kamu ngelamun? Kenapa? Temen kerja kamu ada yang ngeselin? Atau bos kamu nyusahin?" Tanya Yudha.

Raina menggeleng. "Enggak, nggak papa. Cuma... capek aja... mungkin, karena ini pengalaman pertama aku kerja. Jadi, agak kaget..."

"Ya udah, ayo masuk."

"I-iya..."

"AYAH! AYAH!"

Yudha segera menangkap Harvey yang langsung berlari ke arahnya, begitu laki-laki itu membuka pintu rumahnya. "Kenapa, hm?"

Hello Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang