"Kakak masuk kamar dulu aja, ya?" Pinta Winda begitu mereka sudah tiba di rumah.
Raina hanya menurut, tanpa mengatakan apapun. Sepanjang perjalanan pulang, tidak ada percakapan yang terucap dari bibir ayahnya. Hanya ada suara dari si cerewet Harvey yang bercerita banyak hal, dan Raina juga Winda menimpali sesekali.
Begitu masuk ke kamar, Raina segera menjawab telepon dari Alin, yang sejak perjalanan pulang tak henti-hentinya menghubungi dirinya dan berkali-kali pula Raina menolak panggilan dari laki-laki itu.
"Gimana? Gue perlu kesitu?" Tanya Alin to the point.
Dari nada bicaranya, Raina tau laki-laki itu pasti sangat khawatir.
"Nggak perlu. Kayaknya ayah juga lagi nggak mau ngomong sama gue."
"Ra, gue nggak bisa cuma diem gini aja. Gue kesitu ya?"
"Udah dibilang nggak perlu kesini! Semuanya masih bisa ditangani selama ada bunda. Jadi, lo nggak usah khawatir. Gue nggak papa."
Hening.
Tidak ada percakapan apapun lagi diantara keduanya.
"Ra..." Panggil Alin pelan.
"Hm..." Jawab Raina tak bertenaga.
"Gue serius, gue akan hadapi ayah lo. Gue nggak mau jadi cowok breng***, gue akan tanggung jawab atas lo. Gue nggak mau kayak dulu lagi..."
Raina menarik napas panjang. Pelipisnya ia pijat pelan. "Gue nggak tau Alin... Lo sendiri juga tau kan, ayah gue gimana? Kalo besok gue udah nggak dibolehin kerja di toko buku lo lagi, kayaknya gue cuma bisa pasrah. Gue udah punya pandangan, kalo masa depan gue bakal kayak dulu lagi. Gue tau ayah gue gimana, jadi... mungkin ini terakhir kalinya kita bisa berhubungan. Sorry... semoga lo bisa ketemu sama seseorang yang jauh lebih baik dari gue."
"Apa? Tap-"
Raina sudah lebih dulu mengakhiri panggilannya, lalu menonaktifkan ponselnya, sebelum Alin menyelesaikan ucapannya.
Gadis itu merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit kamar. "Suram banget kayaknya hidup gue. Cuma cinta sama satu cowok, tapi malah nggak dapet restu. Tapi... emang salah gue sendiri, sih... Tapi kan, dah lah!"
"KAKAK!"
Raina yang sedang melamun pun terkejut mendengar teriakan Harvey, yang tiba-tiba masuk ke kamarnya tanpa permisi.
Raina terduduk dan berdecak. "Kenapa?"
"Kakak dipanggil ayah, di ruang kerjanya, sekarang."
Dengan lesu, Raina pun beranjak dari tempatnya menuju tempat yang diberitahukan Harvey.
"Kakak, kakak mau dimarahi ayah, ya?" Tanya Harvey yang mengikuti langkah Raina di sebelah gadis itu.
"Nggak tau!" Jawab Raina ketus.
"Kakak kalo dimarahi ayah, bilang sama bunda aja."
"Hm!"
"Kakak, Harvey ikut masuk ya? Soalnya ada bunda di dalam." Kata Harvey begitu keduanya sudah ada di depan pintu ruang kerja Yudha.
"Terserah."
"Ayah! Ayah jangan marah-marah terus, nanti cepet mati tau!" Sahut Harvey begitu keduanya masuk.
Ketiga orang dewasa disana membulatkan matanya mendengar ucapan Harvey.
"Heh! Siapa yang ngajarin adek ngomong begitu?"
"Kenapa? Kan emang bener bunda, kalo marah-marah terus, nanti cepet tua, terus mati! Kata Bu guru gitu!"
"Adek besok pindah sekolah ajalah, makin lama, makin nggak bener kalo ngomong." Sahut Yudha merasa tersinggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello
FanfictionGUANREN GS LOKAL!!! DISARANKAN UNTUK MEMBACA BOOK "BABY HARVEY" SAMPAI SELESAI DI KBM SUPAYA ALURNYA MUDAH DI MENGERTI 😊 AYO BELAJAR MENGHARGAI SEBUAH KARYA, DENGAN FOLLOW, VOTE & KOMEN!!! KARENA SEMUA ITU GRATIS!!! 🥰 Setelah sekian tahun lamanya...