Raina tidak henti-hentinya menangis di sebelah Alin yang masih terbaring tak sadarkan diri, karena baru saja selesai melakukan operasi untuk yang kedua kalinya, di hari ketiga. Kepala dan punggung laki-laki itu tertimpa reruntuhan bangunan yang cukup besar, karena melindunginya akibat bom.
Air mata Raina mengalir semakin deras, saat otaknya kembali memutar ingatan tentang apa yang diucapkan Alin sebelum laki-laki itu tidak sadarkan diri.
"To-long... ber-tahan... sebentar lagi... Lo, ha-rus... ku-at, Ra... Gue... sayang... sama lo... Gue janji, lo pas-ti se-lamat... Gue... janji... dan... Ma-maaf..."
Ucapan Alin yang terbata-bata sembari memeluknya, sesaat sebelum tidak sadarkan diri, membuat Raina kembali menangis. Bahu gadis itu bahkan bergetar hebat.
Raina menggenggam erat tangan Alin yang bebas. "Ayo bangun... Kita harus berjuang sama-sama... Gue nggak bisa liat lo kayak gini... Tolong bangun Alin, tolong... Gue selamat, kayak yang lo mau, tapi kenapa malah lo yang belum bangun sampai sekarang Alin? Ayo bangun... Lo nggak kasian liat gue? Gue selalu nungguin elo, dari dulu... Gue juga masih sayang sama lo, Alin, perasaan gue nggak pernah berubah... Ayo bangun..."
"Sayang, Raina. Ayo kembali ke kamar kamu." Panggil Winda, yang sejak tadi menunggu di depan pintu ruang rawat inap Alin untuk mengantar Raina.
"Sebentar lagi, bunda..." Jawab Raina, tanpa melihat ke arah Winda. Gadis itu masih terus memperhatikan Alin yang tidak berdaya.
Winda berjalan mendekat ke arah Raina yang masih duduk di atas kursi roda, karena kakinya mengalami patah tulang. Kaki Raina juga tertimpa reruntuhan bangunan, namun tidak parah. Dokter juga bilang, jika kakinya masih bisa sembuh seperti sedia kala, walaupun membutuhkan waktu beberapa bulan ke depan.
Namun, apa yang terjadi kepada Alin tidak seperti itu. Reruntuhan bangunan itu cukup besar dan mengenai bagian-bagian vital pada tubuh Alin. Dokter sendiri bahkan tidak bisa memastikan, apakah laki-laki itu bisa segera sadar atau justru sebaliknya.
"Alin harus istirahat, dan kamu juga. Kamu mau Alin cepet sadar, kan? Biarin dia istirahat dulu ya, sayang? Nanti, kalo kamu udah sembuh total, kamu bisa bebas jenguk Alin." bujuk Winda. "Orangtuanya Alin juga udah dateng dari luar negeri dan lagi ngobrol sama ayah di depan. Jadi, biarin mereka ketemu sama anaknya dulu, ya? Mereka juga pasti mau tau keadaan anaknya."
Akhirnya Raina mengalah dan menuruti ucapan Winda.
"Kami sangat berterima kasih kepada kalian, karena sudah mau membantu untuk menyelidiki siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini. Jika pak Yudha butuh bantuan, bapak bisa menghubungi saya kapan saja." Ucap ayah Alin. "Saya juga punya beberapa kenalan yang pasti bisa membantu."
"Terima kasih. Saya pasti akan menghubungi anda, jika memang diperlukan." Balas Yudha. "Kalau begitu, kami permisi dulu." Pamit Yudha, begitu melihat istri dan anaknya sudah keluar dari ruang rawat inap Alin.
"Kami permisi dulu." Ucap Winda dengan mendorong kursi roda Raina.
Begitu tiba di kamar rawat inap Raina, Yudha segera menggendong putrinya itu untuk dipindahkan di atas ranjang rumah sakit.
"Orang suruhan ayah udah nemuin dimana Shoun tinggal. Kemungkinan besok udah bisa ditangkap."
"Kenapa harus nunggu besok? Kenapa nggak hari ini aja? Kenapa orang suruhan ayah nggak bisa gerak cepet? Gimana kalo dia nanti-" Cecar Winda.
Yudha menggeleng. "Nggak bisa gitu, Bun. Shoun tau kalo dia udah jadi buronan, makanya dia pindah-pindah tempat. Jadi, kita harus main aman, nggak bisa gegabah. Kalo kita gegabah, yang ada ntar dia bakal pindah tempat lagi dan kita makin susah ngelacak dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello
FanfictionGUANREN GS LOKAL!!! DISARANKAN UNTUK MEMBACA BOOK "BABY HARVEY" SAMPAI SELESAI DI KBM SUPAYA ALURNYA MUDAH DI MENGERTI 😊 AYO BELAJAR MENGHARGAI SEBUAH KARYA, DENGAN FOLLOW, VOTE & KOMEN!!! KARENA SEMUA ITU GRATIS!!! 🥰 Setelah sekian tahun lamanya...