Semua hanya janji yang tidak bisa tepati...
Dan semua, hanya janji yang tak punya arti...
Maka, untuk apa berjanji, jika akhirnya mengingkari?"Udah hampir satu bulan Raina kayak gini, bunda nggak tega liat dia, ayah." Adu Winda setelah mengantar sarapan untuk Raina di kamarnya.
"Dia masih butuh waktu." Balas Yudha, mencoba menenangkan istrinya, walaupun dalam hati dirinya juga sama khawatirnya.
"Sampai kapan? Sejak Alin meninggal, dia lebih sering ngelamun. Raganya emang masih hidup, tapi aku yakin, hatinya udah lama mati."
Yudha memeluk Winda, hanya ini yang bisa ia lakukan untuk sekarang. Hatinya pun merasakan hal yang sama, seperti yang istrinya rasakan. Tapi, siapa yang bisa melawan takdir?
Sejak awal, dokter sudah mengatakan tidak akan ada harapan lagi bagi Alin untuk bertahan. Namun, yang namanya manusia, mereka hanya berusaha keras untuk mengusahakan berbagai cara yang terbaik. Siapa tau, Tuhan yang Maha Kuasa itu bisa memberikan keajaiban-Nya.
"Bunda..."
Winda melepaskan pelukan suaminya. Wanita itu menghapus air mata dan berjongkok menghadap Harvey yang memanggilnya. "Ada apa? Adek butuh sesuatu?"
"Harvey mau main sama kakak! Kakak pasti sedih, soalnya kakinya kan, belum sembuh. Jadi, Harvey mau temenin kakak. Boleh ya?"
Winda diam, tidak tau harus berbuat apa. Selama 1 bulan ini, Raina selalu mengurung diri di kamarnya, dan meminta agar siapapun tidak mengganggunya. Bahkan Naina yang masih berbagi kamar dengannya pun selalu diabaikan, seolah-olah kembarannya itu hanya patung. Putrinya itu juga hanya makan sekadarnya saja. Sarapan, makan siang dan makan malamnya pun tidak pernah ia habiskan, hingga tubuhnya terlihat sangat kurus.
"Bunda tanya kakak dulu, ya?"
Harvey melengkungkan bibirnya ke bawah. "Jangan tanya kakak dulu! Nanti, pasti kakak nggak mau main! Kakak kenapa sih?"
Yudha ikut berjongkok di sebelah Winda. "Kakak mau main, kok! Tapi, kakinya kan, lagi sakit. Kata dokter, kakak juga harus banyak istirahat, nggak boleh sering gerak, takut kakinya sakit lagi. Nanti, kalo dokter bilang kakak udah sembuh, pasti kakak Raina mau main sama adek. Adek harus sabar ya? Sekarang, adek main sama ayah aja, ya? Kita main sepakbola di lapangan mau?"
Harvey menggeleng pelan, bibirnya juga masih melengkung ke bawah. "Orang Harvey mau main sama kak Raina, bukan sama ayah!"
"Iya, tapi kan-"
"Pokoknya nggak mau! Harvey mau main sama kak Raina!"
Yudha dan Winda saling pandang, mencoba mencari alasan agar Harvey mau mengerti. Hingga bel rumah berbunyi.
Winda langsung berdiri untuk membuka pintu, diikuti Yudha yang juga menggandeng tangan Harvey agar mengikutinya.
Kedua orang tua itu mengerutkan keningnya ketika melihat tamu mereka adalah seorang kurir.
"Atas nama Raina?"
"Iya, itu anak saya." Yudha menjawab pertanyaan si kurir.
"Mohon tanda tangan di sini." Sang kurir menyodorkan selembar kertas kepada Yudha.
"Ini, paket darimana?" Tanya Winda penasaran.
"Di sini, nama pengirimnya Alin."
"Alin?" Winda dan Yudha bertanya untuk memastikan pendengaran mereka.
Si kurir mengangguk.
"Apa isinya?"
"Wah, saya kurang tau pak. Tapi, disini tertulis, cuma dokumen." Si kurir lalu memberikan satu kotak berukuran sedang, setelah Yudha menandatangani tanda bukti penerimaan barang. "Saya permisi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello
FanfictionGUANREN GS LOKAL!!! DISARANKAN UNTUK MEMBACA BOOK "BABY HARVEY" SAMPAI SELESAI DI KBM SUPAYA ALURNYA MUDAH DI MENGERTI 😊 AYO BELAJAR MENGHARGAI SEBUAH KARYA, DENGAN FOLLOW, VOTE & KOMEN!!! KARENA SEMUA ITU GRATIS!!! 🥰 Setelah sekian tahun lamanya...