kisah kedelapan

53 10 1
                                        

"Cie... pipinya merah. Aduhhh kakak gue udah bisa jatuh cinta nihh."

"Apaan sihh."

ฅ^•ﻌ•^ฅ

Suara dentingan garpu dan sendok beradu dengan piring menyapa telinga Juna. Membuat laki-laki manis yang sudah memakai seragam sekolahnya itu terheran-heran, biasanya pada saat mentari menyapa bumi orang tuanya sudah pergi bekerja atau biasanya sedang bertengkar di ruang tamu. Apakah bi Soya? Bi soya tidak mungkin makan sepagi ini.

"Juna, sini." Panggil sang ayah. Rasanya aneh ketika ayahnya memanggil Juna dengan nada sedang, biasanya tinggi.

"Ayah?"

"Sini, duduk ayah mau ngomong." Wah, Juna merasakan hal buruk akan terjadi jika sudah begini.

"Juna buat salah ya? Juna min-" ucapan Juna terpotong saat merasakan sebuah usapan di kepalanya.

Kepala Juna terangkat, netra indah berwarna kecoklatan itu menatap sang ayah yang tersenyum lembut kearahnya. Hati Juna menghangat, namun ketakutan dalam dirinya juga bertambah. Dirinya sudah siap jika sosok yang disebut ayah itu dengan lugas menarik helaian rambutnya. Dalam hati ia merapalkan beberapa do'a, memohon pada tuhan agar ia bisa selamat dari ayahnya.

"Juna maafin ayah ya." Juna yang tadinya menutup mata rapat-rapat langsung membuka matanya, menatap pahatan manusia yang sempurna itu. Ya, ayahnya memang sempurna. Di usia yang sudah tak lagi muda ayahnya masih tetap setampan masa remajanya dulu. Juna pernah melihatnya di majalah. Alis tebal memanjang dipadukan dengan mata berbentuk seperti mata serigala serta hidung menjulang dan bibir seindah danau pink hiller mampu menarik para daun muda pada saat itu.

"Ayah, Juna-" omongan Juna kembali dipotong oleh sang ayah.

"Ayah tau, kamu pasti kaget kan ayah tiba-tiba ngomong gini. Ayah sadar Juna, semua yang ayah lakukan ke kamu itu sudah melampaui batas. Jadi, sekali lagi ayah minta maaf ya, nak."

Nak? Wah, dunia ini sudah gila. Apakah ayahnya benar-benar menyesal? Juna rasanya ingin merekam ucapan ayahnya tadi dan akan memutarnya berulang kali.

"Bunda juga minta maaf ya Juna," Oke. Nampaknya dunia memang sudah gila. Bagaimana bisa ayah dan bundanya tiba-tiba berubah dalam waktu satu malam? Ada apa dengan mereka berdua?

"Bunda-" sedari tadi ketika Juna ingin bicara selalu terpotong oleh keduanya.

"Bunda tau, bunda selama ini terlalu menekan kamu untuk menjadi seseorang yang sempurna. Tapi mulai sekarang, bunda akan mendukung semua yang akan kamu lakukan. Teruskan bakatmu nak, dan jadilah seseorang yang bisa membanggakan kami dengan caramu."

"Juna."

"Juna."

"Juna."

Byurrr

Juna terbangun dari tidurnya saat merasakan hujan seperti mengguyur dirinya, nafas Juna terengah-engah, kelopak matanya mengerjap menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina mata.

Sang ibunda menatap Juna dengan pandangan tajam, "Enak ya kamu, jam segini baru bangun. Udah kayak pangeran aja, bangun tuh yang pagi, belajar. Biar bisa banggain orang tua, kalau kamu males-malesan terus mana bisa banggain orang tua."

"Maaf bunda."

"Sana mandi, terus siap-siap sekolah."

Juna menatap sang ibunda yang menutup pintu kamarnya. Jadi, ini semua hanya mimpi? Juna merasakan dadanya seperti dihantam sesuatu, sangat sesak. Seandainya bisa hidup dialam mimpi Juna pasti tidak akan mau bangun dari tidurnya.

Mengenyampingkan perasaan sedihnya ia harus cepat bersiap-siap ke sekolah jika tidak mau terlambat dan berakhir dihukum.

ฅ^•ﻌ•^ฅ

"Yo, bro!" Justin merangkul pundak Juna dengan tiba-tiba membuat sang empu sedikit oleng.

"Ada apa?" Tanya Juna. Melihat Justin yang tidak berhenti tersenyum sedari tadi.

"Nanti gue kerjanya libur, main yuk." Ucapnya dengan senyum yang senantiasa terpatri di wajahnya.

"Lo goblok apa gimana? Juna nanti kan ada latian buat lomba besok lusa." Cerca Jidan.

"Yahhhh..." ucap Justin sendu.

"Sorry ya, tapi gue usahain nanti selesainya cepet kok."

"Gak usah keburu. Fokus aja sama latihan lo." Ucap Haga yang disetujui oleh semuanya.

"Nanti pulangnya lebih cepet kan? Nah pulang sekolah nanti gue langsung latihan, jadi selesainya mungkin gak sampe jam 4." Jelas Juna.

"Gak les?" Tanya Jidan, mengingat sang sahabat selalu ada jadwal les setiap pulang sekolah.

"Bolos sekali gapapa lah." Jawab Juna.

"Gak usah sok gak papa, nanti lo dipukul bokap lo lagi."

Ucapan Justin mampu membuat Juna terkejut setengah mati. Bagaimana mereka bisa tahu? Haga yang memberi tahu? Juna langsung menatap Haga meminta penjelasan.

"Gue sama Jidan nguping pembicaraan kalian berdua kemarin," Ujar Justin memberi penjelasan.

Juna terdiam tidak tau harus memberi respon apa, sama seperti juna Haga pun turut membungkam mulutnya.

Mereka ber-empat sama-sama diam selama perjalanan menuju taman belakang sekolah, hening menyelimuti, bahkan Justin yang biasanya tidak bisa diam kini juga ikut membungkam mulut.

"Sorry.." Setelah lama membiarkan hening menguasai, akhirnya Juna membuka suara.

"Ngapain minta maaf?" Ujar Jidan seraya duduk di kursi taman disusul dengan Haga disampingnya.

"Karena gak ngasih tau kalian." Juna mengambil duduk di hadapan Jidan dan Haga.

"Juna, kita sahabat lo kan?" Tanya Justin disebelahnya.

Juna menoleh kemudian mengangguk.

"Kita udah 5 tahun sahabatan, Juna. Lo masih nggak percaya sama kita berdua?" Justin merasa dirinya tidak berguna ketika mengetahui apa yang terjadi dengan Juna, tidak hanya Justin tapi Jidan juga.

"Dan lo Haga, makasih udah jadi tempat curhat Juna selama ini." Haga membalas dengan anggukan.

Juna meras tidak enak? Iya, sangat.

"Enggak gitu, gue takut ngerepotin kalian." Balas Juna.

Ini adalah sikap Juna yang tidak disukai oleh ketiga sahabatnya, selalu merasa tidak enak.

"Juna, kita ini sahabat lo. Gak ada yang namanya ngerepotin, kalo butuh apa-apa lo harus bilang ke kita. Ngerti?" Nasihat ia mempunyai pikiran paling dewasa.

"Iya ngerti, bakal gue usahain."

Jari tangan Juna saling bertaut, bergerak gelisah. Kuku tangannya ia mainkan hingga berdarah, kegiatan yang ia lakukan itu menyita perhatian ketiganya. Justin yang berada di sebelahnya menangkup tangan Juna, memberikan ketenangan bagi sang sahabat.

"Makasih," ucap Juna lirih.

"Gak usah bilang makasih, kita kan sahabat jadi harus saling membantu. Iya, kan?" Ujar Jidan.

"Iya, jangan dipendem sendiri lagi ya, Juna."

"Makasih," ucap Juna lagi.

"Gak usah bilang makasih, bilang lagi gue gebuk lo." Jidan nampaknya cepat sekali berganti mood ya....

"Makasih."

"Juna!"

"Makasih."

Jidan tidak menjawab perkataan Juna lagi, namun dirinya dengan sigap mengejar Juna yang sudah berancang-ancang untuk kabur.

"Awas lo, Juna!"

Justin tertawa terbahak-bahak, sedangkan Haga tertawa pelan dengan senyum manisnya. Haga mengambil potret Jidan dan Juna yang sedang berlari, ia harus mengabaikan moment ini. Karena Haga tau, moment ini tidak akan terjadi dua kali.

Tentang JunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang