kisah keenam

50 9 4
                                    

Setelah kurang lebih 40 menit dari menit awal dia meminum obat tidur sepertinya obat itu mulai beraksi. Juna membiarkan obat itu mengambil alih tubuhnya dulu, juna terlalu lelah hari ini. Mata Juna perlahan menutup, mengantarkan sang empu kedalam alam bawah sadar.

ฅ^•ﻌ•^ฅ

Senja kian menyelimuti, sang mentari hendak bertukar tugas dengan bulan. Piringan matahari secara keseluruhan telah hilang dari cakrawala. Laki-laki manis itu memperlambat kecepatan motornya. Pelan ketika memasuki halaman rumah.

Rumah besar bercat putih membuat aura rumah itu nampak elegan. Dengan tiang-tiang yang menjelang tinggi membuatnya terlihat kokoh. Taman kecil yang berada di sekitar rumah bergaya modern itu dapat menyejukkan mata.

Juna masuk ke dalam rumahnya, terlihat sepi. Sekarang hari selasa, wajar jika rumah terlihat sepi, orang tuanya masih sibuk bekerja. Ayah Juna mungkin akan pulang setiap hari senin, kamis dan sabtu. Lain dengan bundanya, orang yang telah melahirkan Juna dengan sekuat tenaga itu akan pulang setiap hari.

Juna berjalan menuju meja makan, perutnya sedari tadi sudah berbunyi. Saat istirahat kedua tadi Juna tidak sempat memakan bekal yang sudah Bi Soya siapkan, sebab Lia tiba-tiba mengajaknya untuk berunding tentang lomba yang sebentar lagi akan mereka laksanakan.

Seharusnya hari selasa jadwal latihannya adalah malam hari, karena Lia ada les. Namun, secara mendadak Lia mengatakan bahwa nanti malam setelah lesnya selesai dirinya akan berkunjung ke rumah neneknya yang berada di luar kota. Kemungkinan besarnya adalah sampai besok, jika tidak latihan, maka resikonya akan berdampak pada perform mereka. Dengan berat hati akhirnya mereka mengganti waktu latihan dengan waktu istirahat.

Juna membuka bekal yang belum ia sentuh sama sekali. Nasi putih dengan lauk ayam kecap manis menjadi pemandangan pertama Juna saat membuka kotak bekalnya, Juna mengambil lauk dari kotak bekal tersebut lalu dipindahkan ke tempat tahan panas. Membuka pintu microwave dengan pelan lalu memasukkan ayam kecap manis yang sudah ia pindahkan ke tempat tahan panas, mengaturnya dengan 75°C.

Sembari menunggu makanannya, Juna memutuskan untuk membersihkan diri dahulu. Menaruh tasnya di atas meja belajar, kemudian masuk ke dalam kamar mandi dan mulai membersihkan diri.

Setelah segar kembali, Juna buru-buru menuju ke meja makan karena cacing-cacing di perutnya sudah memberontak untuk diberi asupan. Juna mengatur suhu microwave menjadi 0°C, tangannya sudah memakai sarung tangan pelindung agar ketika mengambil lauk yang sudah dipanaskan tadi tangan Juna tidak terbakar.

Dari baunya saja Juna sudah menduga bahwa lauk ini pasti rasanya akan menggelitik lidahnya. Baru satu suapan akan masuk ke dalam mulutnya, tiba-tiba suara seorang perempuan menggagalkan suapan tersebut.

"Den Juna, gimana tadi sekolahnya? Ada yang mau diceritain gak sama bibi?" Bi Soya mengambil tempat di depan Juna.

Mata Juna memanas, hatinya terasa bebunga-bunga meskipun itu hanya sebuah kata. Juna berusaha sekuat mungkin menahan sesuatu yang tertumpuk di matanya. Tangannya bergerak mengusap sudut matanya, matanya menatap Bi Soya yang juga menatapnya lembut.

"Juna tadi gak istirahat, seharusnya latihan buat lomba kan malem tapi Lia ternyata gak bisa. Jadi kita latihan pas waktu istirahat kedua. Pas pelajaran dimulai Juna gak bisa fokus sama sekali karena perut Juna bunyi terus hehehe." Juna bercerita layaknya anak tk yang baru pertama kali masuk sekolah, lucu. Namun, jika kita melihatnya lebih dalam lagi maka peristiwa tersebut bukan lucu, tapi menyedihkan.

"Juna anak pinter, tapi lain kali gak boleh gitu ya. Juna bisa sesekali ngemil roti yang bibi kasih," ujar Bi Soya lembut.

"Tadi rotinya habis duluan, temen-temen pada minta. Juna gak sempet makan roti buatan bibi." Juna menatap Bi Soya dengan mata berkaca-kaca, takut Bi Soya marah.

Bi Soya menatap anak majikannya dengan gemas, bagaimana laki-laki manis ini sudah mau beranjak dewasa, sedangkan sifat dan tingkahnya masih seperti anak kecil.

"Terus kata temen-temen Juna gimana?"

"Huh? Apanya?" Juna memiringkan kepalanya.

Bi Soya mengelus rambut Juna gemas. "Rotinya, katanya tadi temen-temen Juna minta. Terus kata temen-temen Juna gimana? Roti bibi enak?"

"Iya, tadi temen-temen Juna bilang kayak gitu semua."

"Oh iya? Nanti bibi bikinin yang banyak kalo gitu biar Juna kebagian. Entar dibagiin ke temen-temen ya."

"Beneran?" mata Juna berbinar mendengar perkataan Bi Soya.

Bi Soya mengangguk. "Ayo, sekarang makan. Mau Bi Soya suapin?" Bi Soya tau, Juna menginginkan itu dari kedua orang tuanya. Tapi sayangnya kedua orang tuanya terlalu cuek pada Juna.

Juna mengangguk semangat, kapan lagi dia merasakan perhatian ini ya kan? Juna menyerahkan piringnya pada Bi Soya. Bi Soya menerimanya dengan senang hati, beliau mulai menyendokkan nasi serta lauk ayam kecap manis dan mengarahkan pada Juna. Juna melahap nasi yang diarahkan padanya dengan senyuman.

"Bi!" Juna dan Bi Soya sontak menoleh.

"Ngapain bibi nyuapin Juna? Juna udah gede, nanti dia gak bisa mandiri kalau bibi manjain dia terus."

Bunda Juna- Rennata, tiba-tiba datang dengan amarah yang meluap. Apa salahnya kalau makan dengan disuapi? Juna ingin merasakan rasanya disuapi oleh kedua orang tuanya, karena orang tuanya tidak bisa memenuhi itu Juna mendapatkan dari orang lain. Apakah tidak boleh?

"Kamu juga Juna! Kamu itu udah gede, harus mandiri. Kalau kamu gak mau mandiri nanti gede mau jadi apa kamu?! Mau jadi pemain piano yang gak jelas itu? Masa depan kamu gak ada gambaran sama sekali Juna. Lihat anak temen-temen bunda, mereka ikut olimpiade matematika, ekonomi, fisika, dan lain-lain. Terus kamu? Cuma main piano? Orang bodoh juga bisa Juna kalau cuma nekan-nekan tuts doang."

Tiba-tiba? Apakah bundanya tidak sadar? Ucapan yang tadi ia lontarkan sungguh menyayat hati Juna. Apakah Juna serendah itu dimata ayah dan bunda? Juna juga ingin membanggakan ayah dan bunda, Juna sudah berusaha semampunya. Tapi mengapa orang tuanya tidak pernah menghargai sedikit pun usaha Juna.

"Bunda.." panggil Juna lirih.

"Jadi pianis itu hebat, bunda." Lanjut Juna.

"Apa kamu bilang?! Hebat?Jadi pianis itu hebat? Kamu bodoh atau gimana hah?! Darimana menjadi pianis itu hebat? Pianis akan disebut hebat ketika dia tenar, setelah ketenarannya merdeup pianis gak bakal dipuji-puji lagi. Kamu gak bisa baca kondisi? Uang bunda bisa habis lama-lama kalau buat les piano kamu-"

"Aku bisa minta sama ayah!" Sela Juna.

"Minta sama ayah? Silahkan! Jangan minta uang sama bunda lagi, bunda gak akan mau membiayai hidup kamu!"

"Bunda jadi orang tua gak becus! Kalau bunda gak mau jadi orang tua, bunda seharusnya gak usah berhubungan badan sama ayah!" Juna meluapkan emosi yang sudah lama ia pendam.

"Bunda juga gak mau berhubungan badan sama ayah kamu! Ayah kamu malam itu mabuk berat dan akhirnya hal itu terjadi. Bunda juga sudah berulang kali berusaha menggugurkan kamu, tapi kamu masih bertahan."

Juna terkejut, sangat. Apakah hidupnya adalah kesalahan? Seharusnya adalah anugerah, tapi mengapa bunda malah menganggap Juna adalah kesalahan?
















Haii.. untuk karakter Lia dicerita ini kalian bebas mau bayangin siapa, karena aku bikin karakter ini sebenernya ga ada imajinasi karakternya itu siapa. Aku ngambil nama Lia karena itu nama temenku hehehe.. see you gaisss

Tentang JunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang