kisah kelima

57 9 1
                                        

Apakah Juna benar-benar seorang malaikat? Hati Juna terbuat dari apa? Lia harus bersyukur, sangat. Akhirnya dia memiliki teman yang berhati malaikat, selama ini teman-temannya berwujud setan semua.

Juna menepuk pundak Lia. "Buruan makan, habis makan kita latihan."

"Juna, tapi.." Lia harus menjaga tenggorokannya agar saat lomba nanti hasilnya maksimal.

Mengerti apa yang dipikirkan Lia, juna menjawab. "Tenang, itu gak pake minyak kok. Itu pake margarin jadi aman buat tenggorokan lo. Bahan-bahanya juga udah gue sesuaiin biar nanti tenggorokan lo ga sakit dan berujung suara lo serak."

Alia terharu, Juna adalah teman terbaik yang pernah Alia temui. Juna pasti akan selalu ia kenang sampai kapanpun, suatu hari nanti Alia berjanji akan membalas kebaikan yang telah Juna lakukan untuknya.

"Lia, sekali lagi gue minta maaf ya udah ganggu weekend lo. Kemarin juga gue ganggu waktu lo buat me time kan?"

"Nggak kok, gak papa. Gak usah merasa bersalah gitu. Ini emang udah kewajiban kita kan? Supaya nanti kita bisa tampil bagus saat lomba. Masih ada beberapa hari lagi buat latihan, jadi kita harus memanfaatkan kesempatan itu sedikit mungkin. Btw, lombanya kapan sih? Gue mendadak lupa deh."

"Hari Jum'at besok, tinggal 4 hari lagi."

Alia menatap Juna dari atas sampai bawah kemudian menatapnya dari bawah ke atas, hemmm seperti ada aneh. Tawa muncul dari kedua bibir Alia membuat Juna yang sedang membuka handphone-nya tersentak kaget.

"Ada apa?" Tanya Juna, apa ada yang salah dengan dirinya? Padahal ia sudah berpakaian se netral mungkin, namun kenapa Lia tertawa sambil melihatnya?

"Juna, mana pakaian warna-warni lo?" Juna malu, mengapa hal itu lagi yang dibahas?

"Takut diketawain sama lo." Jawab Juna jujur.

Tawa kembali muncul, tapi yang kali ini Alia tertawa sambil menepuk-nepuk pahanya sendiri. Juna merasa sepertinya kali ini ia salah kostum lagi, sebegitu aneh kah dirinya dimata Lia? Juna memperhatikan penampilannya di sudut ruangan yang terdapat kaca full body dengan lampu warna-warni yang menghiasi bagian tepinya. Dirinya merasa penampilannya kali ini bagus tetapi mengapa Lia malah tertawa?

"Juna, lo gak perlu nurutin apa kata orang lain. Cukup jadi diri lo sendiri aja, kalau lo nurutin kemauan orang lain yang jelas gak ada habisnya. Itu bakal ngebuat diri lo sendiri menderita, Juna."

"Lagian kemarin gue gak ngetawain lo karena style lo jelek kok, gue ketawa kemarin karena lo lucu banget, Juna." Lanjut Lia.

Juna tertunduk malu mendengar perkataan Lia, "Makasih banyak ya, Lia." Selalu saja seperti itu, kalau tidak maaf ya terima kasih yang Juna ucapkan.

"Yaudah gue mau makan dulu, habis itu kita latihan."

ฅ^•ﻌ•^ฅ

Alia membereskan barang-barangnya kedalam tas pundak berwarna hitam dengan gantungan kunci yang terletak di bagian depan tasnya. Tak terasa sudah jam 16.00 yang artinya sudah hampir empat jam mereka latihan.

"Lia, gak mau pulang bareng gue aja?" Tawar Juna.

"Enggak, gue udah dijemput."

"Oh iya, hati-hati ya." Juna menggerakkan telapak tangannya ke kanan dan ke kiri, gestur tubuh yang sedang melambaikan tangan.

"Lo juga hati-hati, gue duluan ya Juna."

Juna menatap punggung Lia yang berjalan menjauh dari tempatnya berada, Juna kemudian ikut membereskan barang-barangnya kedalam tas berwarna army kesayangannya.

Mulaimengendarai motornya keluar dari pekarangan sekolah menuju ke tempat bimbelnya. Bimbel Juna dilaksanakan pukul 03.30 tetapi saat ini waktu menunjukkan pukul 04.30. Waktudari sekolah menuju bimbel membutuhkan waktu yang cukup lama. Jika dilihat dari jam masuk bimbel dirinya sudah telat 30 menit dan itu sangat fatal jika sampai ayahnya mengetahui hal tersebut.

Juna berulang kali menggigit jari-jarinya, tanda saat ia sedang panik. Haruskah ia masuk, atau membolos saja? Tapi kalau membolos tambah lebih fatal. Dengan keputusan yang sudah ia diskusikan dengan otaknya sendiri, akhirnya Juna memilih masuk.

"Permisi bu, maaf saya telat."

"Ya wajar kalau kamu bodoh, kamu tidak mau menghargai waktu sama sekali. Setidaknya kalau kamu memang tidak pandai dalam pelajaran, sebaiknya kamu berusaha lebih keras. Bukannya malah malas-malasan seperti ini. Kalau saya yang jadi orang tua kamu, saya gak mau ngurus anak yang menyusahkan kayak kamu. Masih untung orang tua kamu peduli, seharusnya kamu bersyukur punya orang tua seperti mereka."

Apa Juna kurang bersyukur? Juna rasa dia sudah sangat bersyukur. Apa Juna memang tidak pantas untuk dihargai sedikit saja?

Orang-orang memang terlalu gemar mencampuri urusan orang lain tanpa mengetahui kebenarannya terlebih dahulu. Mereka bahkan memperhatikan masalah orang lain tetapi tidak pernah memperhatikan masalah mereka sendiri.

Mengabaikan tatapan mengejek semua orang yang ada disana, Juna langsung berjalan menuju bangkunya, mendudukkan dirinya kemudian mengeluarkan alat tulis serta buku yang akan ia pelajari.

ฅ^•ﻌ•^ฅ

Setelah kurang lebih tiga jam Juna terkurung di tempat memuakkan ini, akhirnya dirinya bisa keluar sekarang. Segera membereskan alat tulisnya lalu melangkah keluar dari bimbel dengan langkah cepat, enggan berlama-lama disana.

Mengendarai motornya dengan kecepatan diatas rata-rata membuat dirinya merasa bebas, kembali menambah kecepatan motornya tidak peduli dengan apa yang terjadi nanti.

Huh! Juna sangat muak dengan tempat yang seharusnya bisa dijadikan tempat untuk melepaskan penat justru membuat dirinya sakit. Juna ingin tahu, arti dari rumah yang sebenarnya adalah apa?

"Juna pulang."

Plakkk!!

"Bagus ya, tadi bimbelnya telat. Kenapa?"

Ya tuhan, bolehkah Juna beristirahat sebentar saja? Rasanya hari ini dipenuhi dengan orang-orang yang menjengkelkan.

"Juna latihan yah, ayah kan udah tau Juna mau ikut lomba." Juna berharap ayahnya bisa mengerti dan akhirnya bisa melunak.

"Lomba piano lagi?! Udah berapa kali ayah bilang Juna, gak usah ikut lomba gak jelas kayak gitu! Buat apa sih kamu ikut lomba kayak gitu? Kegiatan kayak gitu gak akan bikin kamu sukses! Kamu udah kelas 12, harus belajar yang giat bukan habisin waktu buat kegiatan gak jelas itu!"

"Cukup yah! Biarin Juna mengasah bakat Juna sendiri. Aku gak perlu apa-apa dari ayah, yang Juna butuhin cuma support dari ayah."

"Anak gak tau diri kamu!"

Juna berlalu begitu saja dari hadapan ayahnya, berlari menuju kamarnya. Air mata yang mengalir begitu deras seperti air hujan itu membasahi kedua pipinya.

Menghempaskan dirinya di atas kasur lalu menelungkupkan wajahnya dia antara lengannya. Menangis dalam diam, membiarkan emosinya keluar. Otaknya seakan mau pecah memikirkan semuanya.

Tangannya mengambil beberapa butir obat tidur lalu menelannya. Air mata yang sedari tadi mengalir nampaknya tidak mau berhenti seakan persediaan air mata Juna masih banyak.

Setelah kurang lebih 40 menit dari menit awal dia meminum obat tidur sepertinya obat itu mulai beraksi. Juna membiarkan obat itu mengambil alih tubuhnya dulu, juna terlalu lelah hari ini. Mata Juna perlahan menutup, mengantarkan sang empu kedalam alam bawah sadar.

Tentang JunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang