04. D A N I Y A L

20 2 0
                                    

         

         

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°°°

           Daniyal melakukan rutinitas seperti biasanya, sekarang ia sudah memakai seragam sekolah. Keluhan keluar dari mulutnya, mengingat sekarang hari senin. Itu tandanya akan ada upacara. Berdiri dibawah terik matahari hampir sejam membuat siapa pun akan berdecak kesal.

Ia menuruni tangga dengan menjinjing sepatu dan tas ransel miliknya. Ia menoleh ke meja makan, tidak ada siapa pun.

"Bunda." teriak Daniyal saat kakinya menginjak lantai diujung tangga.

Kepalanya celingukan mencari keberadaan Airin. Jam sudah menunjukan pukul enam lewat empat puluh menit. Itu tandanya upacara akan diadakan lima belas menit lagi.

"Bunda di dapur, sayang." Tanpa menunggu lama, ia pun segera menghampiri dapur yang berada disebelah kanannya.

"Bun, aku berangkat." Airin yang sedang sibuk dengan roti oles itu pun menoleh.

"Sarapan dulu yu, kamu kan belum makan dari semalem. Perih nanti kalau perut kamu kosong." titah Airin.

Daniyal menggelengkan kepalanya, "Gampang nanti aku sarapan di sekolah aja. Abang mana kok udah ilang aja pagi-pagi?"

Daniyal mencium tangan Airin, lalu mengambil roti yang berada di atas meja dan langsung melahapnya.

"Abang ada kelas pagi."

"Gak seru banget jam segini udah berangkat. Kaya anak SMA aja."

"Kamu ini samanya kaya Abang. Suka banget cari ribut." Airin menggeleng heran. "Udah sana berangkat nanti kamu makin telat, Dek."

"Iyaa, dadah Bunda," ucapnya dengan mulut yang masih penuh dengan roti yang berisikan selai cokelat.

Ia berlari kearah pintu utama rumahnya, duduk di lantai memakai sepatu dengan grasak-grusuk.

Melihat arloji lalu menepuk dahinya refleks.

"Mati gue."

°°°

Menempuh perjalanan hampir setengah jam dengan motor kesayangannya, akhirnya Daniyal sampai. Matanya menyipit memperhatikan sekitar. Tidak ada Pak Imam seperti yang teman-temannya bilang di grup chat.

Daniyal dapat bernapas lega sampai ada satu tangan yang menarik tasnya dari belakang. Tak lama yang ia rasakan adalah rasa nyeri ketika kuping kanannya ditarik lumayan kencang oleh seseorang yang keberadaanya selalu ditakuti siswa Mandala. Siapa lagi kalau bukan, Pak Imam yang berkumis tebal.

"Bagus kamu ya, sudah kelas sebelas masih saja sering telat." Pak Imam menambah tarikannya membuat Daniyal mengerang pelan.

"Pak, ampun, Pak." Daniyal memelas. "Ini kuping saya mau copot Pak. Bapak tega saya punya kuping sebelah doang?"

DANIYALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang