Selepas mendapat tranfusi darah, keadaan Calvin lumayan membaik. Anak itu bisa makan sendiri menggunakan overbed table. Metta yang menyiapkan, sekaligus mengontrol gizi yang terkandung di menu makanannya.
"Yaah kok bubur," keluh Calvin ketika nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih muncul di hadapan.
"Kemarin kemarin kamu makan yang kasar dikit keselek sampe mau muntah lho."
Walaupun merengut Calvin tetap santap makanan lembek itu. Tangannya menyendok, mulutnya mengunyah sebentar, sementara matanya fokus pada layar iPad. Sampai tiba-tiba anak itu seperti akan muntah.
"Huek."
Metta yang sedang mengiris buah peach pun berhenti. "Kenapa kenapa? Nggak ketelen juga?"
Menerima tisu untuk mengelap bibir, Calvin menggeleng. "Ini filmnya aneh banget. Orang meninggal mayatnya masuk adonan kue."
Si dokter berdecak. "Ya kamu lagi makan nontonnya sinetron azab."
"Masih mau lagi?"
Digelengi, semangkuk bubur yang tersisa setengah kemudian diganti sepiring irisan buah peach.
"Enak? Manis nggak?"
"Manis," jawab Calvin mengangguk semangat. "Besok mau lagi."
"Boleh."
"Sama strawberry sama buah naga."
"Iya."
"Sama kiwi juga."
Metta mengusak gemas rambut si pasien kesayangan. "He'em, sekebon besok diangkut."
Kendati keadaan memaksanya untuk dewasa, Calvin tetaplah anak kecil nan lugu bagi Metta, juga bagi orang-orang dewasa yang menganggapnya berlian.
Lekat-lekat Metta amati Calvin, sementara si empunya wajah menggemaskan seperti bayi itu masih pusatkan perhatian ke layar iPad.
Bahkan ketika meja dan peralatan makan dibereskan pun Calvin masih penasaran dengan kisah 'azab' lain一kiranya apa yang bisa dijadikan bahan ancaman kalau kalau ada yang men-dzolimi.
Alhasil dia tidak siap kala Kinanti menerjang, memberi pelukan erat sampai Calvin terbatuk.
Kinanti menangkup wajah pucat anak yang dia khawatirkan sejak kemarin itu. "Kok bisa sampe pingsan kamu ngapain? Obatnya nggak diminum?"
Anak itu menggeleng, tidak bisa berbicara karena kedua pipinya ditekan erat hingga mulutnya mengerucut terkunci.
"M-mbak Kinan ... sesek," katanya tercekat, sambil berusaha menarik turun tangan Kinanti.
"Eh iya sorry sorry. Mbak tu panik banget e di kampung denger kamu drop," ujar Kinanti, membenarkan selang di hidung Calvin. Dia meringis, mengusap kedua pipi gembil yang membekas merah berbentuk cap tangannya.
Belum Calvin sembuh dari kepeningan akibat kehebohan Kinanti, kini tamu lain datang. Bedanya, mata Calvin melebar melihat 5 paper bag dijinjing dan diletakkan di atas kakinya.
"Ini yang Pro M2 karena katanya iPad lo sering nge-lag buat gambar." Dikeluarkan oleh Harsa satu persatu isi paper bag itu. "Tara! Apple Watch baru gantiin yang dipalak preman."
"Kemarin liat-liat sepatu di Balenciaga lucu jadi beli aja. Oh sweater Gucci bear, gemes 'kan? Pengen beli semua warna tapi kata nyokap 2 dulu, kalo lo bosen baru kita beli lagi."
Daaan barang-barang dari luxury brand lain yang membuat Calvin menelan ludah. Sampai printilan seperti kaos kaki saja merk berlogo F.
Suara deheman Tyan memecah kesibukan Harsa. "Kaya gitu saya masih mampu beliin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Live a Calvin Life ⁽ᴱᴺᴰ⁾
FanficCalvin punya cara untuk menciptakan bahagianya sendiri. ⚠️ 𝘢𝘯𝘨𝘴𝘵