Rasa bersalah menggunung di dalam diri Calvin. Sejauh perjalanan ke rumah sakit dia tidak banyak bicara. Paramedis yang memeriksa pun bertanya banyak hal, tapi hanya dijawab dengan gerakan kepala. Setibanya di lobby depan UGD, Calvin berdiri diam saat brankar berisi Nuki diturunkan.
"Calvin!" Mendadak badannya diputar, dipegang bagian bahu, membuatnya meringis, "Akh."
"Maaf maaf. Apalagi yang luka?" Ners perempuan yang dia kenal sebagai teman Kinanti pun refleks menarik tangannya, tapi matanya memindai Calvin dari kepala hingga kaki. "Kakimu lecet!"
"Mbak nggak usah. Aku masih bisa jalan," Calvin menghentikan suster itu saat akan mengambil kursi roda.
Akhirnya Calvin dituntun ke ruang UGD, tiba setelah Nuki. Beberapa suster yang akan menangani Nuki sempat terkejut karena Calvin juga menjadi korban kecelakaan. Walaupun tampak jelas Calvin masih bisa berdiri tegak, tapi suster dan dokter jaga justru lebih mencemaskannya.
Dia berada di salah satu bilik sementara beberapa orang mengerubungi, cekatan mengobati lukanya.
Tepat di bilik sampingnya, hanya dibatasi tirai adalah Nuki. Calvin khawatir dan ingin memastikan kondisinya baik, tapi tidak diberi akses untuk mengintip. Memikirkan Nuki jadi teringat...masa iya dia一Calvin meringis. Bukan karena prasangkanya, melainkan karena mulai merasa linu di salah satu bagian tubuh.
"Mmm kak一eh dok," ragu-ragu dia memanggil.
"Ya?"
"Dokter tau kan aku habis operasi di sini," ucapnya seraya menunjuk bagian dada. Dia yakin dokter muda yang entah sedang melakukan apa dengan bahu kirinya itu tau riwayat penyakitnya.
"Ehem?"
"Sekarang sakit. Kaya mau...eugh meninggal一"
Si dokter masih tampak santai. "Mau pake infus nggak?"
"Nggak," dengan cepat Calvin menyahut.
"Dok." Calvin mengerang kecil lagi. "Dokter Rifza~"
Si dokter muda pun membuang napas panjang setelah selesai membebat bahu kiri Calvin. "Ada cedera di bahumu. Nanti kita MRI buat mastiin keparahannya."
"Terus, kalo bahu aja sakit, dadamu pasti juga sakit soalnya kamu guling-guling. Area bekas jahitan kemarin masih rentan, eh udah dipake aktivitas berat. Nyeri 'kan?"
Calvin mencebik di sela meringis. Bukannya langsung mengobati, malah mengomel. Salah dia juga sih main pergi tanpa izin.
Beberapa saat kemudian Harsa dan Joe tiba. Calvin meyakinkan mereka bahwa lukanya tidak lebih parah dari Nuki. Keduanya pun beralih ke bilik sebelah di mana Nuki sudah sadar tapi masih linglung.
"Gagar otak ringan. Responnya bagus, kesadarannya bagus, cuma karena masih syok jadi agak bingung. Sementara butuh rawat inap 1 sampai 2 hari untuk liat ada dampak lain atau tidak," jelas dokter tentang Nuki.
Di penjelasan lanjutannya Joe sedikit terditraksi oleh Calvin yang dibantu menuruni brankar, kemudian dibawa keluar dengan kursi roda. Harsa berusaha fokus walau matanya tak tahan melirik kepergian Calvin bersama dua ners dan satu dokter.
"Dok, kalo temen saya yang satunya gimana?" Joe bertanya sesaat setelah dokter selesai menjelaskan.
"Siapa? Oh一Calvin?"
Joe mengangguk tapi dahinya mengernyit heran sejenak, sebelum sadar mungkin dokter itu mengenal Calvin karena Calvin sering berobat untuk autoimunnya.
Belum dokter menjawab lagi, Harsa mendahului. "Gue aja yang nyusul Calvin. Lo nemenin Nuki." Sedikit melirik pria lainnya, memastikan si dokter tidak akan menjelaskan kemana Calvin dibawa, lantas Harsa bergegas pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Live a Calvin Life ⁽ᴱᴺᴰ⁾
FanfikceCalvin punya cara untuk menciptakan bahagianya sendiri. ⚠️ 𝘢𝘯𝘨𝘴𝘵