Rindunya membuncah. Dua tahun lamanya Calvin menantikan kehadiran Dhito. Lantas begitu melihat sosoknya nyata berdiri tegap di hadapan, otomatis dia terpacu untuk segera mendekap. Bahkan arm sling yang terasa mengganggu pun dilepas. Masuk hari ke-3 pasca kecelakaan, kini bahunya sudah sembuh, Calvin yang meyakinkan dirinya sendiri.
Dhito pun membuka kedua tangan lebar dan menyambut. Dia puaskan rasa rindu dengan menciumi kepala sang adik sepupu. "Udah gede banget lo. Makin tinggi," katanya di sela menghirup berkali-kali rambut bergelombang milik Calvin.
"I missed you," ucapan Calvin teredam di bahu sang kakak.
Menarik diri masing-masing untuk beradu pandang, Dhito menatap lekat wajah Calvin yang kini bergaris lebih tegas. Mengabaikan selang yang menjulur keluar dari hidung Calvin dan membuatnya miris.
"You've grown up so well," ujar Dhito, mellow terbawa suasana.
"And you were so cruel to me."
"Why?" alis Dhito menukik.
"Bilangnya mau rajin ngasih kabar, tapi mana? Gue ngirim email juga nggak pernah dibales."
"I read everything; gue baca semua curhatan lo. Sorry nggak bisa bantu saat lo lagi down. Gue nggak bisa hubungin lo because that was the consequences."
"Consequences of what? You did something wrong? Again?"
Dhito terkekeh serak. "Ya, again." Dia rangkul Calvin, diajak duduk ke bangku terdekat.
"Mas Basta sini gabung." Baru sadar ada Basta yang sedari tadi mengamati. Memang jika sedang bahagia dunia serasa milik berdua.
"Sini aja, biar kalian bebas ngobrol kangen-kangenan," ujar Basta duduk di bangku sedikit jauh.
"Jadi, lo ngapain lagi?" Calvin tampak bersemangat menyimak, sok serius, sehingga Dhito terkekeh.
Mengusak rambut Calvin gemas, Dhito mulai bercerita dimulai dari Papanya yang murka karena dia sering mendapat surat cinta dari sekolah dan sering pergi ke club. Pun pernah bermain fisik dengan salah satu calon client besar perusahaan. Alhasil Dhito 'dikuliahkan' ke Jerman, semata-mata agar bisa lebih mandiri dan belajar tentang hidup一termasuk hidup sebagai pebisnis.
Namun, dasar jiwanya adalah pemberontak, lagi-lagi di negeri orang pun Dhito berulah. Dia hambur-hamburkan uang yang dikirim untuk membeli barang dan kendaraan mewah. Jalan-jalan bolos kuliah sampai hampir mendapat surat cinta lagi, tapi kali ini dari kampus.
Konsekuensi yang Dhito maksud, akibat kelakuannya itu dia dilarang bergantung dengan keluarga, termasuk berkomunikasi. Dia harus bekerja untuk menghidupi hidupnya sendiri, pengecualian kalau ada hal mendesak; seperti saat ini, Mama sambungnya melahirkan.
"Pantes gue juga suka berontak, ternyata didikan lo." Dan keduanya tertawa bersama.
"Calv Calv. Lo harus tau, yang gue syukuri dari jadi keluarga Sanjeeva sejak umur 12 tahun tu ya karena ada lo di keluarga ini."
"Well, yeah, cuma lo juga yang dulu bisa bawa gue kabur dari pertemuan keluarga. Demi menghindari mulut tante-tante julid."
"Salah satunya mama Camila?" Dijawab dengan kedikan bahu tapi bagi Dhito itupun cukup. "Sampe sekarang gue maupun Papa juga belum bisa merubah sikap Mama yang itu. Entah deh, lo tau sendiri mama nggak sukanya sama nyokap lo, pelampiasannya aja yang ke lo," sambungnya.
"I know, tapi yaudah lah. Nggak usah dibahas."
"Bener. Kalo gitu bahas yang lain." Dhito merubah topik. "Athala gimana? Udah ketemu?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Live a Calvin Life ⁽ᴱᴺᴰ⁾
FanficCalvin punya cara untuk menciptakan bahagianya sendiri. ⚠️ 𝘢𝘯𝘨𝘴𝘵