Pemalang, November 2009
Tangisan memilukan seorang ibu yang memekikkan telinga terdengar hingga bilik kamar. Lantas, Fajar terbangun dengan suara gaduh yang membangunkan tidur nyenyak di sore hari ini. Kepalanya terasa pening melihat 2 orang kakak-beradik bertengkar hebat, apa yang sudah terjadi? benaknya bertanya.
Beras tercecer di mana-mana, beberapa baju, dan uang seratus ribu dalam jumlah banyak, mungkin ada beberapa juta. Anak laki-laki itu masih kebingungan, umurnya masih 6 tahun, ingin bertanya tapi ia diam saja. Terjebak di antara pertengkaran adalah hal yang menakutkan. Fajar memilih bersembunyi di belakang tubuh Emak sambil memilin kaosnya yang lusuh.
"Seharuse koe podo berterima kasih karo aku, tanahe laku gara-gara sopo? aku!" (Seharusnya kamu semua berterima kasih sama aku, tanahnya laku gara-gara siapa? aku!)
"Koe nangopo sih, Mas! Tanah iki siji-sijine sing aku duwe, jare almarhum Bapak karo Emak tanah iki wes dibagi adil. Iki tanahku. Tanahmu wes didol awet mbiyen, dadi salahe sopo?" (Kamu kenapa sih, Mas! Tanah ini satu-satunya yang aku punya, kata almarhum Bapak dan Ibu tanah ini sudah dibagi adil. Ini tanahku. Tanahmu sudah dijual dari dulu, jadi salahnya siapa?)
"Ah! Cah cilik ora ngerti masalah tanah! Kui jukut duite separoh bae lho!" (Ah! Anak kecil tidak mengerti masalah tanah! Itu ambil uangnya separuh saja lho!)
"Mas, awakmu ora berhak ngedol tanahe Dana. Balekke saiki sertifikat sing koe jokot." (Mas, kamu tidak berhak menjual tanahnya Dana. Kembalikan sekarang sertifikat yang kamu ambil) Kini, Bapak berusaha membela istrinya.
"Ora ono urusane karo koe!" (Tidak ada urusannya sama kamu)
Emak mengambil napas panjang, dadanya terlalu sesak setelah menangis. "Lungo mono! Moh, aku ora sudi mangan duit kui!" (Pergi sana! Tidak, aku tidak sudi makan uang itu!)
"Karepmu! Tanah iki wes didol, mono lungoho sing adoh!" (Terserah kamu! Tanah ini sudah dijual, sana pergilah yang jauh!) Dengan buru-buru terlihat pria itu mengambil beras, baju, dan uangnya yang dimasukkan ke dalam tas.
"Mak, Pak, Pakde nangopo? Nangopo lungo?" (Mak, Pak, Pakde kenapa? Kenapa pergi?)
Fajar menatap emaknya yang masih terisak, ia ingin sekali membantu keduanya. Namun, Fajar sadar dia hanya anak kecil yang tidak tahu betul permasalahannya dibandingkan mereka.
"Wong kae jahat, Jar. Tanah wek kene didol kae, kene wes ora due omah nang kene." (Orang itu jahat, Jar. Tanah kita dijual dia, kita sudah tidak punya rumah di sini)
"Cepet bantu Emakmu beres-beres klambi karo perabotan liyane. Bapak tak nyusul Mbak-mbakmu." (Cepat bantu Emak beres-beres baju dan perabotan lainnya. Bapak mau menjemput Mbak-mbak kamu)
Fajar hanya menurut perintah bapak, otak kecilnya masih mencerna kejadian yang terjadi. "Nggih, Pak." (Iya, Pak)
KAMU SEDANG MEMBACA
Setinggi Bumantara
Novela JuvenilSetinggi apa kamu bisa meraihnya? Kalimat yang selalu terbesit di dalam pikiran Fajar. Lelaki yang mempunyai banyak mimpi dalam hidup, tetapi impian yang banyak itu tidak begitu saja terwujud. Ekonomi menjadi penghalang mengejar pendidikan, ia juga...