3. Bunga Wijayakusuma

19 2 0
                                    

Emak memberikan obat demam pada Fajar. Fajar demam usai hujan-hujanan tadi sore, biasanya tidak ada efek apa-apa, kenapa sekarang berpengaruh. Tubuh kurusnya terbalut jaket agar tetap hangat, ia ditemani Emak dan Bapak di meja makan dekat dapur. Lebih tepatnya, keluarga ini baru selesai makan malam.

"Minum dulu obatnya habis itu tidur, besok sekolah kan?" tanya Emak.

"Iya, Mak."

Hari Senin besok ada persentasi kelompoknya, mana mungkin Fajar tidak masuk hanya karena alasan demam. Fajar termasuk murid yang teladan di kelas, bahkan sekolah. Pernah, saat itu banjir merendam jalanan, rumah warga,  dan juga sekolahnya, ia tetap berangkat. Alhasil tidak ada murid yang masuk, kecuali mereka yang dikatakan sebagai terlalu rajin atau teladan. Namun, Fajar tidak merasa seperti itu. Fajar sama seperti siswa lainnya, ia butuh yang namanya menuntut ilmu setiap hari jika masuk sekolah. Ia tidak ingin absen satu hari pun kalau tidak ada kepentingan.

"Kamu tuh bukan Anak kecil lagi, Jar. Berhenti main-main. Fokus terhadap sekolahmu sebagai pelajar, jangan kayak Bapak," ucap Bapak tiba-tiba.

"Gara-gara Bapak sering berantem, ikut tawuran, langganan dipanggil guru, akhirnya Bapak dikeluarkan dan dilarang almarhumah Nenekmu sekolah lagi."

"Itu salah Bapak juga sih," Bapak menyesap tehnya, "yang terpenting kamu bukan Bapak. Belajar yang rajin supaya lulus dapat nilai bagus."

"Nilai bagus buat apa, Pak. Ujung-ujungnya cuma nilai di atas kertas, Emak juga begitu dulu." Emak yang lulusan SMP lebih tahu soal sekolah dibanding Bapak yang SD saja belum lulus.

"Kok buat apa toh? Ya, buat masa depan Fajar. Kalau nilainya bagus bisa buat lamar kerja nanti, betul, Jar?"

Fajar mengangguk, ia tidak berani membantah ucapan Bapak. "Betul, Pak."

"Nah dengar sendiri kan, Mak. Buktinya si Bagas kerja di Kalimantan dengan gaji yang lumayan." Bapak mulai berkhayal sesuka hati. "Kalau nanti Fajar kerja juga di sana, kita bisa merenovasi rumah, beli televisi yang besar, kendaraan juga bisa."

"Ibunya dibelikan emas, baju, hebat sekali, ya, Bagas."

Fajar tersenyum tipis, kesekian kalinya Bapak membandingkan dirinya dengan anak tetangga yang umurnya sedikit lebih tua dari Fajar. Fajar sudah kebal, si Bagas memang sesempurna itu di mata Bapak.

"Katanya, setiap ada lulusan di sekolah pasti buka lowongan kerja yang sudah bekerja sama dengan pihak sekolah. Nanti kamu daftar, ya, Jar? Biar sama seperti Bagas."

"Tapi, kan nggak semua murid masuk, Pak. Biasanya ada biaya juga dan itu mahal."

"Betul, Pak. Uang dari mana kita, biarlah Fajar fokus dulu di sekolah. Masalah pekerjaan nanti dipikirkan lagi," tutur Emak.

"Belum juga usaha kamu sudah mengeluh, Jar. Bapak cuma menyarankan kamu, agar kamu tidak salah langkah."

Bapak mengambil sepotong singkong rebus di piring plastik. "Kalau masalah uang Bapak ada tenang aja. Tergantung niat kamu bagaimana."

Bukan hasil utang kan, Pak?

Fajar tidak mau semakin membebani Bapak, ia sudah terlalu sering. Bapak berhutang ke semua orang tanpa memikirkan harga dirinya, yang ada malah penolakan dari berbagai pihak. Emak pun sama, guratan di wajahnya yang berkeriput menahan isak tangis, bingung ingin meminjam kepada siapa. Tidak ada saudara di sini, kalau pun ada belum tentu dapat membantu.

Pernah saat itu Emak menangis di kamar yang tak sengaja Fajar melihatnya pertama kali. Kejadian itu 3 tahun yang lalu sebelum Mbak Tina meninggal dunia.

"Mak? Emak kenapa?" tanya Fajar sangat khawatir. Fajar bersimpuh, menatap Emak yang tidak baik-baik saja.

"Emak nggak apa-apa, Jar," Emak mengusap air matanya, "cuma kepikiran aja sama Mbakmu."

Setinggi BumantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang