4. Susu Tanpa Rasa

23 2 0
                                    

Hal yang paling dirindukan saat kembali bersekolah bagi Fajar adalah suasananya. Banyak siswa berjalan di koridor, menuju ke kantin atau pergi ke toilet. Rasanya baru kemarin masuk SMK, sekarang tinggal menikmati masa sebelum purna. Sebelum Fajar berangkat, ia memastikan kondisi Emak dalam keadaan yang stabil. Emak meminum obat pusing yang beli di warung, tubuhnya dibiarkan tidur untuk istirahat. Syukurlah jika Emak baik-baik saja.

Yang Fajar takutkan, Emak pergi untuk selamanya. Mengingat sakit Emak yang tak kunjung sembuh selama 2 bulan, membuat Fajar terus dibayangi rasa cemas yang berlebihan. Emak sangat terpukul atas kepergian Mbak Tina. Anak perempuan pertama yang amat berharga bagi Emak.

"Fajar!" teriak gadis berambut pendek, saat ia tidak sengaja melihat belakang punggung Fajar. Ia tahu betul perawakan Fajar walau tidak melihat dari muka.

Dia—Elara Senjani, dipanggil Lala, tapi bukan Lala Teletubbies. Cewek bermata sipit itu tingginya hanya 155 cm, dia sedikit tomboi jika dilihat dari penampilan serta rambutnya. Model rambutnya wolfcut bukan cepmek, seperti yang dikatakan Dilan jadi-jadian.

Lala orang yang aktif tapi mengaku introvert. Aneh.

"Eh, ini tempat duduk saya. Cepet pindah!" perintah Lala. Ia datang lebih dulu jika dibandingkan pemuda yang duduk di tempatnya dengan tatapan bingung. Lala pergi sebentar untuk beli minuman, tetapi kursi kesayangannya diambil orang. Kursi dekat jendela paling belakang adalah favoritnya, kalau yang lain tidak masalah.

"Maaf, ya. Saya lebih dulu di sini." Pemuda itu adalah Fajar. Fajar dapat menebak jika gadis galak itu satu sekolah dengannya, terdapat logo SMK yang sama di sebelah kiri lengan bajunya.

"Buktinya mana?"

"Bukti apa?"

"Pak Sugeng," Lala memutar matanya malas, "Bapak lihat aku duduk di sini dari tadi sebelum dia? maksudnya sebelum aku pergi?"

"Lihat, kamu langganan saya, La." Lala tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya ada saksi yang membela. "Itu kursi ada 2 tinggal berbagi aja kok repot. Jangan gitu, La. Kasihan temanmu, mau berangkat sekolah juga kan?"

"Lho! Bukan teman saya, Pak."

"Terus siapa? pacar? cieee." Pak Sugeng sengaja menggoda Lala agar tidak tegang di pagi yang cerah ini. Namun, candaan Pak Sugeng tidak mempan.

"Orang asing yang mencuri tempat duduk kesukaan saya!"

"Terus mau bagaimana? Mas kamu mending ngalah aja sama Lala. Itu kursi kesukaannya jangan diambil."

Jadi, namanya Lala. Galaknya melebihi Emak.

Fajar tersenyum tipis, lebih baik ia mengalah daripada bertengkar dengan perempuan. Karena, supir itu tidak mungkin bohong, jelas si Lala ini langganannya. Dan dia datang terlebih dahulu. "Iya, Pak."

"Nggak, Pak. Nggak usah pindah. Geseran sana," pintanya kemudian. "Awas, ya, kalau berisik."

Fajar mengangguk, entah apa yang akan dilakukan Lala. Lala membuka tas ransel hitamnya, mengeluarkan buku cukup tebal dengan cover cantik berwarna biru.

Fajar memberanikan diri untuk bertanya. Novel itu, sama persis seperti novel pemberian Kak Sidqi. "Kamu suka novel itu?"

"Suka," jawab Lala singkat. Lala masih sangat fokus membaca setengah halaman dari buku itu.

"Aku juga punya, dan suka juga tentunya."

Lala melongo menatap Fajar yang tengah tersenyum, ia berucap, "kita harus berteman!"

Setinggi BumantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang