11. Senja, Obat dan Luka

20 2 0
                                    

"Terima kasih, senja. Aku tahu kamu itu obat, tapi mungkin akan jadi luka nantinya."

—Elara Senjani

***

Koridor sekolah sudah sepi ditambah gelap juga mendominasi di sudut ruangan tertentu. Fajar dan Lala sengaja pulang terlambat, mereka asik membicarakan pertandingan bola tadi malam. Tak sadar jika hari semakin sore.

"Iya, La. Suporter juga harus bersikap dewasa dong, mereka bukan anak kecil kayak Abi."

"Sumpah greget banget kalau ada kejadian kayak gini. Kek mereka punya otak nggak sih buat lakuin itu."

"Wasitnya juga ngajak baku hantam, jelas-jelas pelanggaran di kotak pinalti. Bukannya di kasih kartu atau apa, eh dia malah memutuskan seolah pelanggaran biasa. Kena kaki padahal," tambah Lala. Emosi Lala meluap-luap jika membahas soal ketidakadilan dalam sepak bola. Namun, itu biasa terjadi, selama Indonesia tidak menggunakan sistem VAR (Video Assistant Referee) dalam pertandingan maka tidak ada yang berubah. VAR sendiri adalah teknologi untuk membantu wasit dalam membuat keputusan di pertandingan sepak bola. Biasanya keputusan wasit hanya sepihak dan tidak bisa dibantah, maka dari itu perlu VAR agar adil.

"Sabar." Cuma itu yang bisa dikatakan Fajar, ia pun kesal sebenarnya, protes pun tidak merubah keadaannya.

Sejenak, Lala mengembuskan napas. "Dah lah, lama-lama males nonton!"

"Haha, kamu La nggak tahu aja liga di Indonesia kayak apa. Sudah biasa kan."

"Iya sih."

Fajar mengacak rambut Lala dengan gemas, karena penampilan Lala berbeda hari ini, rambut pendeknya dikuncir kecil ke belakang.

"Fajar, kamu mah gitu," ucap Lala kecewa. Rambutnya berantakan akibat ulah Fajar, padahal ia sudah berusaha untuk mengikat rambutnya. Karena, mendapatkan teguran dari guru BK.

"Sini gantian." Lala langsung merangkul pundak Fajar dan menahannya karena Fajar cukup tinggi baginya, lalu segera mengacak rambut lurus Fajar. Ternyata sangat lembut, Lala baru pertama kali menyentuhnya.

"Gimana rambutku wangi kan, La?" tanya Fajar yang cengengesan.

"Wangi dari mana, bau matahari yang ada."

Lala berbohong, ia akui rambut Fajar wangi maskulin serta mint. Lala menutupinya agar tidak salah tingkah sendiri.

Perempuan membawa beberapa buku tebal di tangan menghentikan langkah perjalanan mereka menuju parkiran. Raut wajahnya tampak gelisah. Lala mengerutkan kening, sepertinya Lala pernah melihat perempuan itu di suatu tempat. Lala mencoba mengingat, tapi ia kurang yakin pernah melihat perempuan di depannya, sebab dia memakai kacamata.

"Ada apa, Tang?" tanya Fajar.

"Jar, kamu ada waktu nggak? Kalau ada belajar bareng yuk, materi Bu Dewi aku kurang paham soalnya. Ada tugas juga kan, bingung mau ngerjainnya," jawab Lintang frustasi.

Fajar menggeleng. "Untuk sekarang nggak ada, maaf, ya. Nggak tahu kalau besok sih, kayaknya ada tapi—"

"Nggak ada. Fajar nggak ada waktu, maaf, ya," potong Lala dengan cepat.

Dalam hati Lala bersorak kegirangan. Lala tidak suka jika perempuan itu maupun perempuan lainnya mengambil posisi sebagai teman ataupun sahabatnya Fajar, titik. Hanya Lala seorang.

"Oh gitu, gapapa sih bisa lain waktu. Btw salam kenal, Lintang." Lintang menjulurkan tangan kanan, senyuman tulus sebagai tanda perkenalan.

"Lala." Lala menyambut tangannya. Lala sedikit tidak nyaman dengan gadis itu. Lintang terus-terusan menatap Fajar walau curi-curi pandang, Lala dapat melihat perlakuan itu.

Setinggi BumantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang