Anak Akuntansi selalu pulang lebih cepat, entah kenapa, padahal mereka terkenal dengan julukan rajin dan teliti. Lala pun tidak tahu, ia menunggu Fajar yang belum juga keluar dari kelasnya. Mereka berbeda kelas dan jurusan. Fajar jurusan TKJ (Teknik Komputer dan Jaringan) 2, sedangkan Lala AKL (Akuntansi dan Keuangan Lembaga) 1. Nasib keduanya sama, sama-sama terjebak di jurusan yang bukan keinginannya sedari awal. Lebih tepatnya mereka salah jurusan.
Fajar, ia pertama mendaftar di jurusan Teknik Kendaraan, namun tidak lolos karena nilainya kurang. Begitu pula Lala, dia mendaftar di jurusan Perkantoran, lagi-lagi karena nilai, Lala terpaksa mengambil opsi kedua. Itupun paksaan dari Ibu. Ibu juga yang awalnya memaksa untuk masuk di SMA Negeri, tapi Lala menolaknya, ia juga bingung untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah atau tidak setelah ini.
Es jeruk yang diminum Lala sudah habis tersisa hanya es batu. Fajar, baru keluar setelah bel pembelajaran terakhir berbunyi. Memang waktu yang tepat sebenarnya, cuma di kelas Lala sedikit cepat dari jam pulang.
"Masih nunggu Fajar, La?" Gemi menghentikan motornya di tengah jalan. Jalan sempit yang biasa dilalui siswa berjalan kaki.
"Iya," jawab Lala singkat.
"Gitu, ya? Kalau bosen ngitungin semut aja, La, itu ada di bawah. Aku duluan, ya." Gemi menghidupkan mesin motornya yang sempat dimatikan, ia segera berlalu pergi sebab antrian siswa lainnya di belakang. Sudah tahu jalannya sempit masih parkir sembarangan, mungkin itu sebagian yang dikatakan para siswa.
"Lama?" tanya Fajar yang baru saja keluar kelas dan langsung menghampiri Lala. Fajar menatap Lala yang duduk sendirian sambil memakan es batu, mungkin ia yang terlalu lama.
"Lumayan, biasanya juga gitu." Lala menghampiri tong sampah di depan ruang kelas, kemudian membuang plastik bekas esnya. "Anak TKJ rajin-rajin, ya?"
"Siapa bilang?" Itu bukan Fajar yang menjawab, melainkan Nabil yang datang bersama Sigit.
"Ada, La. Yang nggak rajin, nih contohnya." tunjuk Nabil pada Sigit. Sigit langsung memukul kepala Nabil menggunakan kunci motor di tangannya. Nabil meringis kesakitan memegangi kepalanya.
"Mulut lo ya, Bil!" Sigit tidak terima dituduh seperti itu walau kenyataannya begitu. Tapi, Sigit masih berniat untuk masuk sekolah setiap hari tanpa absen.
"Emang fakta kok."
Lala memutar matanya malas, perdebatan Nabil dan Sigit memang sudah biasa terjadi, biarpun begitu mereka bersahabat akrab. "Kalian berdua sama aja. Cuma Fajar yang rajin."
"Iya deh, si paling Fajar," sindir Nabil, ia terkekeh. Menyenggol lengan Sigit agar ikut menggoda Lala.
"Dan si paling senja," sambung Sigit.
"Apaan? aneh kalian!" ucap Lala ketus. Sementara Fajar tersenyum tipis menyimak obrolan mereka bertiga.
"Kita balik dulu, bye kalian berdua, selamat pacaran." Nabil dan Sigit bergegas pergi menuju parkiran. Sigit tidak peduli, ia memainkan ponsel dari sakunya, memiliki teman seperti Nabil harus banyak menutup telinga.
"Gue tampol mulut lo ya, Bil! Coba ngomong sekali lagi," teriak Lala.
"Sini kalau berani." Suara Nabil masih terdengar walau sudah jauh di depan. Lala tidak sungguh-sungguh berniat mengejar dan melayangkan tamparannya. Dia masih berdiri di tempat yang sama bersama Fajar.
"Dasar! bikin kesel aja tuh anak! Ngapain sih kamu temenan sama makhluk kayak mereka?"
"Udah, La. Kayak nggak tahu kelakuan mereka aja. Mereka bercanda doang kok, gapapa, ya?"
Emosi Lala meredup seketika kala Fajar menatapnya sambil tersenyum manis. Manis sekali, kalau Lala boleh jujur.
"Iya-iya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Setinggi Bumantara
Ficção AdolescenteSetinggi apa kamu bisa meraihnya? Kalimat yang selalu terbesit di dalam pikiran Fajar. Lelaki yang mempunyai banyak mimpi dalam hidup, tetapi impian yang banyak itu tidak begitu saja terwujud. Ekonomi menjadi penghalang mengejar pendidikan, ia juga...