5. Badut Menangis

25 2 0
                                    

Rumah tempat berpulang. Cat tembok berwarna putih dengan pagar besi yang sudah berkarat, justru semakin membuat rumah itu tempat ternyaman yang pernah ada selama beberapa tahun. Ada pohon mangga yang menjulang tinggi, ada pula aneka tanaman hias di depannya. Motor matic Fajar sampai di pekarangan rumah Lala, tidak ada siapa-siapa, sampai perempuan paruh baya berkacak pinggang di depan pintu.

"Baru pulang?" tanyanya retoris.

Lala menoleh, raut wajah Ibunya terlihat tidak bersahabat. Ibu selalu begitu, dia tidak pernah suka sama Fajar. Ketidaksukaan Ibu tidak membuat Lala menjauhinya, ia sudah dewasa. Lala berhak menentukan berteman dengan siapa.

"Jar, makasih, ya. Kamu hati-hati," ucap Lala sambil menyerahkan helm.

Fajar mengangguk. "Iya, aku duluan, sampai bertemu besok."

Lala melambaikan kedua tangannya, terkadang ia terlalu bersemangat melakukan suatu hal. Sampai Lala lupa kalau ia seorang introvert, alhasil membuat tubuhnya lemas seperti terkuras banyak energi.

"Kenapa kamu masih pulang sama dia?" Pernyataan Ibu yang sering terdengar, bila Fajar mengantarnya pulang. Bahkan Ibu enggan menyebut namanya.

"Besok biar Ayah yang antar jemput kamu."

"Enggak." Lala menggeleng sekali lagi, ia berkata, "aku nggak mau, Bu. Biarlah aku naik bus aja."

"Naik bus biar bisa sama dia? Anak miskin yang suka ngutang sama kamu? sama seperti keluarganya? terutama Ibunya. Ibu sudah bilang sama kamu, La. Jangan berteman dengannya! Ibu dan Anak biasanya sama!"

"Fajar bukan seperti itu, Bu. Dia nggak pernah pinjam uang sama aku! Fajar baik, keluarganya juga baik, aku sudah lama mengenalnya daripada Ibu."

Lala tahu keluarga Fajar, ia tahu semuanya. Kenapa ibunya terus-terusan menyalahkan Fajar? Dia tidak salah, namun sangat salah bagi Ibu. Hidup mereka sederhana, Lala menyukainya.

"Oh, jadi kamu pergi ke sana terus?" Ibu benar-benar marah sampai dadanya naik turun karena emosi. "Sekalian nggak usah pulang, La. Seharusnya kamu contoh Adik kamu, dia penurut, nggak keras kepala kayak kamu."

Lagi-lagi sang adik. Seharusnya adiknya  yang mencontoh dirinya bukan sebaliknya seperti kata ibu. Anak bungsu memang spesial, ya. Aku sedikit iri.

"Iya, Ibu boleh nilai aku keras kepala. Dan cap Liora sebagai Anak penurut, baik, atau apalah itu. Tapi, berhenti menilai Fajar dan Ibunya seperti itu. Aku nggak suka Ibu gitu ke mereka."

"Ibu akan berhenti jika kamu berhenti berurusan sama keluarga mereka. Besok, kamu nggak boleh bawa motor lagi, apalagi naik bus, atau angkot."

"Itu artinya aku nggak bisa berhenti buat temenan sama Fajar, Bu. Terserah Ibu mau apa, aku akan bilang ke Ayah." Lala tidak peduli panggilan berulang kali dari Ibu. Ia terus berjalan ke dalam rumah sampai kamarnya.

Di depan pintu kamar, kamarnya setengah terbuka, padahal Lala yakin ia sudah mengunci pintu bahkan kunci kamarnya masih ada di saku. Lala sengaja melakukannya, agar tidak ada siapa pun yang masuk untuk menyingkirkan semua hobinya. Lala rasa ini cara yang tepat, akan tetapi sepertinya ia salah.

"Ngapain kamu di sini?" tanya Lala pada gadis kecil yang duduk santai sambil memeluk boneka.

"Mau pinjam boneka, Kak. Bonekanya Kakak yang buaya ini bagus, lucu. Boleh pinjam?"

"Siapa yang membuka kamar Kakak? Kamu?"

"Bukan. Tapi, Ibu, Kak. Kata Ibu gapapa, Kakak nggak bakalan marah. Kan nantinya kamar ini milik kita berdua," jawabnya polos. Liora—adik Lala yang masih duduk di sekolah dasar kelas 3.

Setinggi BumantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang