HAPPY READING 💕
°•°
Terik matahari di waktu senja memang tidak terlalu menyengat, bahkan memberi kesan hangat dan menyejukkan yang mampu menenangkan hati. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Chris yang baru turun dari kuda kesayangannya.
Lelaki itu menghempaskan napasnya keras-keras, lalu menyugar rambut peraknya. Terlihat sekali lelaki berusia dua puluh tiga tahun itu sedang kelelahan dan ingin segera beristirahat. Tentu saja, dia baru mengalami perjalanan melelahkan menggunakan teleportasi ekstrim. Jarak yang seharusnya bisa ditempuh dua hari satu malam, bisa selesai hanya dalam jangka waktu beberapa jam.
Chris memang ingin sekali istirahat, tetapi tugas menggelayuti kedua pundaknya. Jika tidak dihiraukan, istirahat dia tidak akan tenang.
"Suram sekali. Lebih parah daripada yang aku bayangkan."
Chris menoleh pada komentar Edward mengenai tempat yang kini berada di hadapan mereka dan menjadi tujuan perjalanan panjang mereka. Tanpa menanggapi, Chris kembali mengalihkan pandang ke arah lurus, melihat gerbang raksasa yang diselimuti aura sihir berwarna hijau keruh, sehingga memberi kesan menyeramkan layaknya tempat angker yang patut dijauhi.
Kini, Chris dan Edward telah tiba di Desa Alvana sesuai perintah Xavier. Hanya berbekal emblem Katedral Agung, mereka bertugas mencari tahu akan kebenaran Asema yang baru-baru ini diketahui menjadi pelaku akan pembunuhan berantai di Desa Alvana.
Jika ditanya apakah dirinya takut datang ke tempat mengerikan ini, tentu saja Chris secara lugas mengatakan benar. Mustahil ada manusia yang berani datang ke Penjara Keabadian Victorion dengan tangan kosong. Mereka hanya mencari mati jika secara sukarela mau melakukannya. Namun, dibandingkan takut, Chris lebih memilih mengatakan lelah. Selain perjalanan yang amat jauh, menghadapi warga desa sangatlah menguras tenaga dan emosi.
Walaupun ketiga anak Nearsen berhasil memenangkan lomba perdebatan antar akademi beberapa tahun lalu, tetap saja tidak bisa dikatakan Chris mau berdebat bersama orang-orang terpidana di dalam desa ini. Mereka sekumpulan orang keras kepala yang tidak mau mematuhi aturan.
"Malam ini purnama. Sebelum fase bulan purnama sempurna, kita harus keluar dari tempat ini." Edward berujar.
"Kita bahkan belum masuk, tapi aku sudah merasa terperangkap di tempat ini." Chris menimpali dan berdecak. "Misi spionase yang terakhir kali kita lakukan saja hampir gagal karena salah satu kesatria dipergoki oleh warga. Aku yakin sekali mereka memperketat penjagaan dan memperkuat kesiapan mereka untuk melawan wisatawan yang datang."
"Aku tidak menyangka, ternyata kau seorang pengecut."
Chris menoleh, memandang sinis pada Edward yang masih menatap gerbang desa lurus-lurus. "Aku manusia. Ketakutan adalah hal yang wajar di alami manusia."
"Kau pikir aku juga bukan manusia?" Edward menyambar agak sewot. "Ternyata Cassandra memang benar. Kau itu pengecut aslinya."
Chris mengangkat bibirnya, menatap kesal pada Edward yang sudah melengos ke arah gerbang. Mau tidak mau, Chris pun mengikuti. Hingga akhirnya mereka sama-sama tiba di depan pintu gerbang Desa Alvana. Kepala mereka sama-sama menengadah, melihat betapa tingginya gerbang berwarna hitam di depan mereka ini.
Gerbang seukuran lima kali lima meter yang terbuat dari baja ini tampak sangat besar dan menyeramkan. Betul-betul mirip penjara pada umumnya. Hanya saja, aura hijau keruh yang menyelimuti seluruh tembok yang mengelilingi desa membuat desa ini terlihat lebih angker daripada yang tertulis di buku sejarah. Akibat sihir putih Remo bertemu Desa Alvana yang merupakan penjara para pendosa, maka sihir putihnya yang biasa mampu memberi berkat berbalik menjadi menghukum dengan simbol warna hijau keruh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lairene : The DESTINY Of Victorion
خيال (فانتازيا)Kapan ini semua akan berakhir? Mungkin pertanyaan itu akan selalu timbul dalam benak Sandra dan Xavier meskipun mereka telah berhasil menjalankan misi dari sang Dewi. Pasalnya, misi ini terus berlanjut sehingga selalu membayangi kehidupan bahagia m...