fīv

271 26 1
                                    

_____________________

"Aku pikir aku harus pergi sekarang kak," kata Yoobin ketika sebuah instruksi terdengar di sana. Sembari mencangklongkan tali tas selempangnya ke pundak kirinya, ia berdiri dari kursi panjang yang ia duduki.

Jisoo yang memang sedari tadi duduk di samping sang adik pun lantas ikut berdiri dan mengangguk menatap netra hitam Yoobin.

"Be careful, hubungi kakak jika sudah sampai," ucap Jisoo sembari memakaikan topi yang dipakainya tadi kepada Yoobin dan merapikan rambut panjang berwarna gelap itu, "Salam untuk paman, bibi, dan Kak Wendy di sana ya," lanjutnya setelah selesai melakukan kegiatannya.

Yoobin mengangguk, menyampirkan poni yang menjulur menutupi matanya karena tertimpa topi.

"Thanks, I'll tell them that you said hi," ucap perempuan bermarga Hong, "I want to hug you, Josh."

Pemuda sembilan belas tahun tersebut tertawa dan segera saja memberikan dekapannya. Terkadang adiknya bisa menjadi benar-benar menggemaskan walau tak jarang ia terlihat cuek dan menyebalkan.

"I think it's time to go, kau tidak ingin pesawat meninggalkanmu, kan?" kata Jisoo ketika pengeras suara kembali terdengar.

"Ah, baiklah aku pergi sekarang. Sampai jumpa, Kak Joshua," ujar Yoobin sebelum melangkah pergi menjauh dari Jisoo, menoleh ke belakang sebentar untuk sekedar melambaikan tangannya sebelum menghilang dari pandangan sang kakak.

Jisoo menunggu pesawat yang dinaiki sang adik lepas landas sebelum akhirnya melangkah meninggalkan Bandara Internasional itu.

Dengan menaiki sebuah taksi ia kembali ke apartemennya. Ia tak memiliki rencana apapun setelah mengantar sang adik.

Pagi tadi setelah sarapan ia mengantar Yoobin ke hotel tempat adiknya itu menginap sementara sebelum bertemu dengannya. Membantu merapikan barang-barang sang adik, tidak banyak, hanya satu koper kecil.

Keduanya berangkat menuju bandara menggunakan taksi. Penerbangan Yoobin sebenarnya pukul dua belas lewat tiga puluh menit, namun karena tidak ada lagi yang akan mereka lakukan, mereka berangkat pukul sebelas lewat dua puluh lima.

Jisoo mengetuk layar ponselnya dua kali, membaca deretan angka yang tertera agak besar di layar persegi panjang itu. Dua belas lewat lima puluh lima. Hari masih panjang untuk berganti hari.

Ia bersandar pada jendela yang berada di sebelah kirinya, menelisik jalanan yang dilewati mobil yang ia tumpangi. Pikirannya melayang pada pembicaraannya dengan sang adik kemarin malam.

"Kak, apa kau tidak rindu papa dan mama?"

Tentu saja ia merindukan mereka dengan sangat. Bagaimana bisa adiknya menanyakan hal yang menurutnya terlalu bodoh untuk ditanyakan kepadanya.

Tanpa sadar ia menggeleng dengan senyum kecil terpatri pada wajah tampannya. Sesekali maniknya menatap objek sekitaran jalan raya di sana, tidak ramai seperti biasa.

Detik berikutnya, netranya menangkap sosok laki-laki yang dikenalnya, lelaki itu baru saja keluar dari toserba dengan sebuah kantong plastik kecil di tangannya. Matanya terus mengikuti bahkan ketika taksi sudah melewati toserba tersebut.

"Maaf, bisa tolong turunkan aku di sini?" ucapnya kepada sopir taksi di balik kemudi. Taksi itu menepi beberapa meter dari sebuah pohon di pinggir jalan raya.

"Terima kasih," katanya sembari menyerahkan sejumlah uang kepada sopir taksi, lalu turun dari kendaraan beroda empat itu.

Hong Jisoo, seorang pemuda kelahiran Los Angeles, saat ini tengah merebahkan dirinya pada sofa panjang ruang tamunya. Sekitar sepuluh menit yang lalu ia baru tiba di rumahnya.

Setelahnya turun dari taksi siang tadi, ia mendatangi salah satu teman kelasnya, Kim Taehyung yang baru saja menduduki kursi di depan toserba saat itu.

Pemuda Kim itu tampak frustasi saat ia bertemu tadi. Kim Taehyung tengah kesal dengan sang ayah yang selalu menyuruhnya untuk melanjutkan bisnis keluarganya. Tetapi minatnya tidak berada di jalan itu. Hal itu membuatnya kesal dan uring-uringan.

Mendengar itu membuatnya teringat dengan sang ayah. Ayahnya, Hong Siwon adalah seorang pengusaha juga. Ayahnya yang merupakan anak pertama mewarisi perusahaan induk milik keluarga Hong.

Ingatannya tiba-tiba melayang pada saat sang ayah bertanya tentang mimpinya dulu.

"Joshua, jika sudah besar nanti apa kau mau menjadi seperti papa?" tanya Siwon yang saat itu membuat putranya menatapnya meminta keterangan lebih lanjut.

"Bekerja di perusahaan kakek, Josh," lanjut sang ayah yang paham dengan maksud tatapan sang putra.

Ucapan sang ayah langsung mendapat gelengan darinya, "I want to be a doctor, can I?" tanya Jisoo pada Siwon.

Hong Siwon lantas tersenyum menanggapinya, mengangguk dan mengarahkan telapak tangannya untuk mengusak rambut putranya.

"Of course, you can. Kau bisa menjadi apapun sesuai keinginanmu, Josh. Papa tidak akan memaksamu. Tetap ingat kata-kata papa, be a good person and stay away from negative things that can damage you, Josh, okay?" kata sang ayah kepadanya.

Jisoo tersenyum mengingat bagaimana ayahnya selalu berkata dengan hangat tanpa pernah membentak kedua anaknya.

Ayahnya juga tak pernah melarangnya jika bukan hal yang negatif, justru Siwon akan sangat mendukungnya. Membimbingnya dan mengarahkannya. Sama halnya dengan ibunya, Lee Dami yang selalu menyayangi Jisoo dan Yoobin.

"I really miss you," ucapnya entah kepada siapa.

Tanpa sadar air mata meluruh dari sudut matanya. Ia masih bertahan di posisinya, berbaring di sofa menghadap langit-langit ruang tamunya.

Ditemani denting jam yang terdengar lebih keras dari biasanya, Jisoo menangis. Ia memejamkan matanya dan menangis mengingat keluarganya, kedua orangtuanya yang begitu menyayanginya dan sang adik.

"Papa awas!!" teriak lelaki berusia enam belas tahun dengan histeris disela-sela perbincangan penuh tawa, telunjuknya mengarah ke depan sana.

Ketiganya spontan melihat ke depan, sebuah kendaraan melaju dengan kencang ke arah mereka.

"Jisoo adikmu!" ujar wanita empat puluhan dengan panik.

Pemuda bernama Jisoo itu lantas memeluk adiknya, melindungi sang adik dan menutup telinga kecil itu sebelum suara keras terdengar mengerikan.

Dengan mata terpejam erat, ingatan mengerikan itu kembali terlintas dikepalanya. Membiarkan likuid bening meluruh dari mata gelapnya, tangan kanan Jisoo meremat ponsel yang sedari tadi bergetar digenggamannya.

Jisoo benci jika harus mengingat peristiwa mengerikan itu. Sekeras apapun ia mencoba melupakannya, ingatan itu selalu terlintas tanpa permisi.

"ARKH! " geram Jisoo setengah berteriak kesal dengan melempar ponselnya kasar.

"Jisoo? Apa kau di dalam?" suara terdengar dari luar, terdengar jelas dirungunya, namun ia tak mengindahkannya.

Ia bangun dari berbaringnya, matanya yang lembab melihat sekilas ke arah pintu di sana. Jisoo hanya diam. Kepalanya berdenyut sakit, sementara pikirannya terus berkelana dengan bebas membuatnya semakin merasakan pusing.

"Hong Jisoo?" panggil orang itu dari depan pintu yang lagi-lagi tak direspon olehnya.

Tangannya terarah mengambil gelas yang diambilnya sebelum berbaring tadi. Meminumnya sedikit untuk sekedar membasahi tenggorokannya yang terasa kering.

PYAR!

tbc.
_____________________

ashən [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang